- Usahakan masukkan semua barang ke bagasai, kecuali barang berharga dan alat elektronik saja
- Sediakan waktu yang lebih, paling tidak 4 jam untuk menuju bandara. Selain antisipasi macet dan seperti yang anda baca, harus melewati pemeriksaan yang ketat dan panjang.
- Jangan bawa banyak alat elektronik. Karena seluruh peralatan elektronik disuruh menyalakan kemudian mematikan lagi. Termasuk jika anda memiliki bulpen dengan baterei, senter atau apapun. Bawa seperlunya saja.
- Jangan mengambil foto area bandara. khusunya bagian luar luar dan security check. bisa bisa petugas datang dan interogasi.
- Santai saja dan nikmati ribet dan panjangnya pemeriksaan di bandara, kapan lagi bisa “menikmati” pemeriksaan seperti ini. Sekaligus bersyukur kita tinggal di negeri yang damai.
Dipaksa Bersabar di Bandara Srinagar
Tips Travel To Nepal With Kid : Visa and Preparation
5 Hotel Di Bandung Untuk Pebisnis Dekat Dengan Bandara
![]() |
foro credit by Tripadvidor |
Berikut Rekomendasi hotel di Bandung untuk pebisnis dekat dengan bandara
10 Destinasi Wisata Menarik Untuk Dikunjungi Setelah Pandemi COVID-19 Berakhir Versi EmakMbolang
1. Rusia
![]() |
Photo Credit : Pixabay |
2. India
3. Jakarta Dan Palembang
![]() |
Booking hotel dengan aplikasi RedDoorz |
![]() |
Hasil pencarian hotel dekat kantor |
4. Bali
5. Nusa Tenggara Timur
6. Turki
![]() |
phot credit : Pixabay |
7. Pakistan
![]() |
photo credit : Pixabay |
8. Mongolia
![]() |
photo credit : Pixabay |
9. Norwegia
![]() |
Photo Credit : Pixabay |
10. Naik Haji ke Baitullah
![]() |
Photo credit : Pixabay |
Wajah Kathmandu
Ketika roda kendaraan meninggalkan bandara seketika itu pula diri ini terseret memasuki masa lampau, menawarkan romansa jadul yang menghangatkan jiwa
Langkah Kaki Menyusuri Labirin Thamel
Berjalan santai terasa asyik, kawasan Thamel dipenuhi dengan deretan toko, restoran, bar, cafe, street food, wisatawan manca negara riwa riwi
Badan mendapatkan haknya beristirahat. Perjalanan dari Delhi ke Kathmnadu hanya dua jam. Harusnya nggak capek amat. Hanya saja Nepal adalah bagian menyenangkan dari sebuah perjalanan estafet, kami barusan balik dari backpacking di Kashmir selama 4 hari. Di Delhi istirahat semalaman. Keesokan harinya lanjut ke Nepal.
Sore itu setelah cukup beristirahat di hotel. Kami memutuskan berjalan jalan sejenak di sekitar hotel. Sekalian menukar uang. Waktu ke Nepal, saya hanya membawa beberapa Dollar saja. Itupun habis untuk membayar Visa on Arrival. Dan lebih banyak membawah uang Rupees India.
Berbekal Bismillah dan kartu nama hotel dengan peta kecil di baliknya, Saya, Najin dan mbak Andri melangkahkan kaki meninggalkan hotel. Hotel budget yang kami pesan online ini berada di sebuah gang kecil. Kanan kiri semua hotel budget yang rata rata terdiri 3 sampai 4 lantai berdampingan dengan satu sama lain. Kebetulan hotel kami berada di kawasan Thamel yang tersohor. Kalau di Bali, Thamel ini seperti kawasan kuta.
Keluar dari gang, menuju jalan utama Thamel. Berjalan santai terasa asyik. Kawasan Thamel dipenuhi dengan deretan toko, restoran, bar, cafe, street food, wisatawan manca negara riwa riwi. Happening banget.
Rencana awal pingin nukerin uang jadinya jalan jalan sekalian. Capeknya mendadak hilang. Semangat menyala. Apalagi hari ini kita memang tidak ada itinerari kemanapun.
Thamel yang luas, perempatan jalan, tikungan dengan deretan pertokoan, restoran menguarkan aroma rempah, hotel hotel berbintang hingga hotel budegt, gang gang kecil yang menyertainya, membentuk bagaikan sebuah labirin yang asik untuk ditelusuri sekaligus menyesatkan. Langkah kaki mengikuti kata hati. Sore yang sahdu di awal musim semi, membuat kami nyaman berjalan untuk cuci mata
Di tengah jalan, tetiba kami mendengar suara …teng. Suara lonceng yang menggerakan hati untuk mengikuti. Suara yang tak asing. Mengingatkan saya akan Monastry waktu jelajah manali, India.
Kami berjalan melambat. Berharap terdengar lagi suara lonceng lagi. Dan ketika terdengar lagi suara lonceng, kami gegas mengikuti arah datangnya lonceng. Memasuki sebuah gang. Semakin mendekat aroma dupa semakin pekat.
Riang hati menatap Monstary tua di tengah hiruk pikuk Thamel. Stupa nampak mempesona di antara padatnya rumah. Pucuk stupa berhias sepasang mata Budha berwarna kuning keemasan. Simbol simbol keagamaan bertumpuk diatasnya. Menggantung warna warni bendera doa. Seperti postcard atau foto foto yang selama ini menggambarkan tentang eksotisme Nepal.
Nuansa magic terasa. Dupa berasap menyala. Stupa dikelilingi beberapa patung Budha terbuat dari batu. bentuknya lebih kecil, berbentuk segitiga mengerucut dengan beberapa patung Budha. Ukiran dan geometri cantik menghiasi batu.
Di area Monastry banyak muda mudi Kathmandu duduk santai. Anak anak bermain riang berlarian. Para manula duduk bercengkrama. Beberapa para jemaah khusuk berdoa. Sementara burung dara ceria berterbangan di langit langit. Seakan terlupa akan gempa yang baru saja memporak porandakan kehidupan. Terlihat sebuah harap dalam tenangnya doa.
Menemukan monastry diantara padatnya kawasan Thamel seolah menjadi ucapan selamat datang. seolah menjadi gambaran keindahan dan keramahan Nepal yang akan kami jelajahi beberapa hari ke depan.
Saya mengitari Stupa, menatap pesonanya sambil membidik beberapa spot cantik dalam lensa kamera. Najin seperti biasa menikmati bermain dengan kerumunan burung dara. Tapi masih tetap dalam jangkauan mata.
Riuh dan uniknya kawasan ini membuat kami lupa tujuan kami semula, menukarkan uang. Untung saja kebanyakan toko di Nepal menerima uang Rupees India. Kami membeli jus buah dan beberapa penglengkapan mandi. Sore itu kami habiskan menyusuri labirin Thamel hingga mentari menenggelamkan diri di ufuk barat.
Menghirup Aroma Magis dan Religius Di Kuil Tua Swayambunath
Bertengger di puncak lembah Kathmandu, Swayambunath yang juga dikenal sebagai Monkey temple merupakan salah satu kuil tertua di Nepal
Hari kedua berada di Kathmandu. Lumayan banyak tempat wisata yang akan kami kunjungi hari ini. Kebanyakan wisata kota tua bersejarah, kuil dan stupa. Lokasi wisata satu dengan yang lain jaraknya tidak berjauhan dan berada di sekitaran Kathmandu.
Mengingat saya datang bersama Najin, anak saya yang saat itu masih berusia 9 tahun, menyewa mobil menjadi pilihan yang tepat untuk jelajahi tempat wisata. Saya menyewa mobil dari hotel yang kami tempati. Itineray perjalanan keliling wisata sekitar Kathamndu hari ini pun anjuran dari hotel. Nurut saja.
Pagi itu setelah sarapan omelet, roti dan selai di hotel, kami ngobrol sebentar di ruang makan sambil sesekali melirik mas mas bule di meja sebelah. Bukan, bukan cari perhatian. Mereka sibuk bercerita tentang pendakian yang menyenangkan menapaki kaki atap dunia. Hal yang ingin saya lakukan tapi harus saya lupakan untuk sementara waktu.
Roda mobil bergerak meninggalkan hotel. Menjauh dari kawasan Thamel. Menapaki jalanan Kathmandu yang berdebu dan nampak lebih lengang pagi itu.
Setelah limabelas menit perjalanan meninggalkan pusat kota Kathmandu ke arah Barat, jalanan mulai naik, berkelok memeluk perbukitan. Menghampar lembah Kathmandu di kaki bukit. Hawa sejuk di akhir musim dingin terasa semakin sejuk.
Setelah tiket masuk berada di tangan, kaki penuh semangat menapaki komplek kuil tua Swayambunath. Bendera doa warna warni menggantung menghias langit langit kuil. Simbol keagamaan menghiasi disetiap sisi. Nuansa religius menyelimut kuil yang dipercaya sudah ada sejak 464-505 SM. Merupakan salah satu kuil tertua yang berada di Nepal.
Disambut sebuah patung sang Budha berdiri diatas bunga teratai. Dari tanganya mengeluarkan air yang jatuh diatas kolam perdamaian yang mengelilinginya. Beberapa penziarah sibuk berdoa. Sebagian lain dan anak anak sibuk melempar koin kedalam guci dekat kaki sang Budha. Mereka percaya, jika koin masuk kedalam guci, setiap doa dan permintaan akan dikabulkan, juga membawa keberkahan dan kelancaran rezeki.
Melihat hal tersebut Najin riang dan gegas menuju ke kolam perdamaian. Meminta uang koin kepada saya. Untung saja di sebelah ada beberapa penukaran uang koin. Saya mencoba melempar, nggak berhasil. Selebihnya Najin yang asyik mencoba melempar hingga koin habis. Dan tak satupun masuk kedalam guci.
Di sebelah kanan kolam dengan menapaki beberapa anak tangga terdapat beberapa patung sang Budha berwarna putih. Berukuran lumayan besar. Berdekatan dengan patung, sebuah lonceng berukuran jumbo berdiri. Penziarah bergantian membunyikannya. Dentinganya merayap ke seleluruh bukit hingga ke lembah.
Patung Sang Budha berwarna putih ini bukanlah stupa utama. Swayambunath, kuil utama masih berasa di atap bukit. Kami terus berjalan menyusuri anak tangga yang landai menuju kuil utama.
Menapaki tangga ada panjual kelapa dan timun yang sudah di potong potong. Iya, di Nepal maupun India, kelapa dan timun dijual layaknya buah iris di Indonesia. Dan itu kesukaan Najin.
Saya membeli masing masing dua buah. Camilan sehat. Lagi enak enak makan, tetiba dua ekor kera menyambar timun. Auto kaget. Lanjut tertawa, sementara Najin masih ketenggengen. Emak macam apa saya ini, anaknya mengalami hal menengangkan, malah ketawa membahana. Saya bilang tidak apa apa, kita berbagi rezeki sama kera agar Najin lebih santai. Tapi dianya masih takut karena beberapa kera masih mengintai timunnya. Akhirnya dia memberikan semua buahnya kepada kera. Dan berhasil membuat dia meringis.
Keberadaan kera membuat Swayambunath dikenal sebagai monkey temple. Menurut cerita kera kera sakti ini merupakan transformasi dari kutu kutu yang tumbuh dirambut panjang seorang Boddisattva baik hati yang menemukan lembah Kathmandu. Lokasinya yang rindang dengan rimbun pepohonan membuat kera betah tinggal disini. Keberadaanya tidak terlalu mengganggu, hanya saja sebaiknya dihindari bawa makanan yang menonjol.
Kami melangkahkan kaki melewati anak tangga landai menuju kuil utama Swayambunath. Untuk mencapai kuil utama Swayambunath ada dua akses jalan. Pertama, melalui gerbang Timur, melewati 365 anak tangga dengan kemiringan curam. Tangga ini langsung menuju lokasi yang disebut Vajra. Setiap pagi ratusan umat agama Budha menapaki tangga ini kemudian lanjut mengitari stupa dengan melantunkan mantra mantra.
Yang kedua, melalui gerbang Barat biasa dilalui dengan menggunakan mobil. Seperti yang kami lalui. Menuju kuil utama melewati tangga lebih landai dan santai.
Tibalah kami di Swayambhunath dengan beberapa pasang mata Budha menatap segala penjuru arah. Di atasnya terdapat mata ketiga Sang Budha yang menjadi Ikon Nepal. Dikenal sebagai mata pembawa pesan.
Di bawah sepasang mata sang Budha, sebuah hidung yang tergambar dengan satu lekukan. Representasi angka satu bagi Nepali yang menjadi simbol penyatuan. Sedangkan diatasnya terdapat tiga belas tingkatan berwarna kuning kemasan. Hal ini menggambarkan ada tiga belas tahap perjalanan spiritual yang harus dilalui umat Budha untuk mencapai tingkat Kebudhaan.
Bagian bawah sang Budha dikelilingi ratusan silinder doa. Biksu dan penziarah mengelilingi sang Budha searah jarum jam dengan memutar silinder doa dengan melapalkan mantra mantra.
Stupa utama Swayambunath dikelilingi banyak stupa dan candi berukuran lebih kecil dengan warna hitam batu kali. Aroma dupa menguar begitu kuat. Lilin dan dupa dinyalakan. Burung dara berterbangan di langit langit. Benar benar terasa damai, magis dan religius.
Di komplek Swayambhunath selain sang Budha juga terdapat beberapa kuil agama Hindu. Kuil suci ini konon berdiri sejak raja Pratap Malla memimpin Nepal. Bahkan sebagai penghormatan, raja membantu pembangunan tangga Timur pada adab ke-17.
Aktifitas keagamaan di depan kuil Hindu nampak begitu ramai. Penziarah datang bersama dengan keluarga tua dan juga anak anak. Membawa sesajen, berupa bunga, dedaunan, makanan, bubuk, dupa, kelapa dan banyak yang lainnya. Mereka berdoa, memecah buah kelapa kemudian pemuka agama mengoleskan bubuk orange di dahi penziarah.
Bagi saya dan beberapa wisatawan asing prosesi keagamaan ini menarik untuk diabadikan dalam jepretan kamera. Tentu saja tanpa mengganggu kekhusyukan beribadah. Ketika sibuk menfoto, tetiba seorang wanita penjaga berseragam berkata “No photo, please”. “Oh, I am really sorry” ucap saya dan juga wisata mancanegara lainnya. Selanjutnya kami menikmati proses keagamaan tanpa jepretan kamera.
Masing masing umat agama Hindu dan Budha berdoa, melantunkan puja dan puji tanpa merasa terganggung satu dengan yang lainnya. Mereka berdoa berdampingan dengan damai. Keharmonisan hidup hal yang biasa kita lihat di tempat tempat keagamaan di seluruh Nepal.
Kawasan kuil tua Swayambunath ini luas sekali, karena berada di puncak perbukitan, kita akan melewati banyak naik turun anak tangga menuju satu tempat ke tempat lainnya. Selain stupa dan kuil, di area komplek Swayambunath juga terdapat candi, tibetan monastry, perpustakaan dan juga museum. Menjadi pemandangan yang biasa melihat penziarah berdoa, menyalakan dupa serta menabur bunga. Biksu biksu muda belajar, berdoa dan ada yang bermain bola, semua terasa mempesona diabadikan dalam jepretan kamera. Ditemani rindang pepohohan, bendera bendera doa yang menggantung di langit langit, simbol simbol keagamaan di sepanjang tangga, lantunan mantra, lonceng menggema dari puncak hingga ke lembah, semuanya terasa mengalir begitu damai.
Telusuri Kota Kuno Patan Durbar Square
Lalitpur terkenal sebagai kota yang sangat artistik dengan segudang karya seni yang dipersembahkan untuk para dewa, salah satu tempat yang paling terkenal adalah Patan Durbar Square
Berbeda dengan pagi hari ketika kami meninggalkan hotel menuju Swayambhunath, wajah Kathmandu masih dibelai dalam tidur. Tak banyak aktifitas warga. Jalanan lengang. Siang ini, dari Swayambunath menuju Patan durbar square, membelah kota Kathmandu di antara debu malayang terdengar riuh suara klakson. Sapi lempeng aja berjalan santai, anjing berkeliaran, hal yang biasa kita temui di negeri berjuluk seribu Dewa.
Kabut tipis diakhir musim dingin membuat pemandangan kota Kathmandu tampak kelabu. Sesaat nampak sendu. Apalagi negara dibawah dekapan Himalaya ini porak poranda diterjang gempa. Beberapa bangunan terlihat runtuh. Meski demikian, hal tersebut tak menyurutkan semangat kami menjelajah kota. Ditambah lagi dekapan hawa sejuk membawa angin segar tersendiri.
30 menit berlalu sejak meniggalkan Swayambhunath, kota kuno Lalitpur dengan segala keunikannya terlihat dari balik kaca mobil. Diantara riuh kendaraan dan suara klakson, mas sopir mencari tepat parkir. Kami tinggal berjalan kaki sebentar. Membeli tiket masuk yang berada dekat gerbang utama.
Lalitpur terkenal sebagai kota yang sangat artistik. Sebagian karya seni yang dihasilkan dipersembahkan untuk para dewa. Tak heran di kota ini banyak ditemui deretan kuil dan vihara. Dan salah satu yang paling terkenal yang kami kunjungi saat ini adalah Patan Durbar Square.
Bersama dengan Kathamandu durbar square dan Bakthakpur durbar merupakan tiga durbar square yang bersemayan di lembah Kathmandu. Ketiganya merupakan situs warisan UNESCO. Patan durbar square dipercaya ada sejak abad ke 3 SM oleh dinasti Kirat. Pada abad ke 6 wilayah kota diperluas oleh Licchavis, sebuah kerajaan kuno berasal dari India. Selanjutnya diperluas lagi oleh Raja raja Mala di abad pertengahan.
Menatap sekeliling Patan durbar square, sisa gempa yang meluluhlantahkan Nepal beberapa bulan yang lalu masih tersisa. Beberapa kuil dan bangunan disanggah kayu, ada yang rusak parah. Beruntung masih banyak bangunan kuno yang masih tegak berdiri. Meski demikian tak mengurangi arsitektur seni dan keunikan peradaban kuno Patan durbar square yang masuk dalam World Herritage UNESCO.
Patan durbar square yang menjadi pusat kegiatan agama Hindu dan Budha. Memiliki 136 “bahals” atau halaman serta 55 kuil utama dan deretan istana raja raja Mala. Deretan kuil berada di sisi Timur berhadapan dengan deretan istana raja bergaya newari yang berada di sisi Barat.
Sebelah kiri deretan kuil dan sebelah kanan Istana raja raja Mala
Bersama dengan gerak riang burung dara berterbangan di langit langit, Chyasim Deval krishna Temple berdiri tegak menyambut setiap penunjung memasuki area Patan Durbar Square. Kuil dibangun pada tahun 1723 oleh raja Vishnu Malla. Sedangkan menurut Michael hutt, seorang professor ahli tentang Nepal dan Himalaya, kuil didirikan oleh Yogamati, putri Raja Yognarendra (1685-1705).
Kuil terbuat dari batu hitam. Bagian depannya dijaga dua patung singa. Sesuai dengan namanya “Chyasim” atau “Chyasing” yang berarti 8 sisi merujuk pada bentuknya oktagonal. Terdiri 3 tingkatan, lantai dasar dihiasi dengan lengkung lengkung kolom nan artistik. Sedangkan bagian atas kubah dikelilingi kubah kubah kecil. Mirip dengan seni arsitektur kuil yang biasanya saya temui di India. Gaya arsitektur Chyasim Deval Krishna ini nampak berbeda dari kuil kuil tradisional lainnya di Nepal yang biasanya berbentuk khas Newari.
Bersebelahan dengan Chayim Deval Krishna terdapat sebuah pelataran. Ditengahnya berdiri sebuah genta menggantung pada dua buah tiang dengan dekorasi unik diatasnya. Genta berukuran besar dikenal dengan Taluja bell. Menurut sejarah, genta yang dibangun pada abad ke-17 oleh Raja Vishnu Malla ini dahulunya dibunyikan saat rakyat ingin mengadukan keluhan kepada sang raja. Atau dibunyikan saat ada keadaan genting. Saat ini genta hanya dibunyikan pada saat perayaan festival saja.
Chyasim Deval krishna Temple Dan Taluja bell |
Melangkahkan kaki selemparan mata, sebuah bangunan yang nampak hanyalah sebuah kotak tingkat tiga. Sebelum diratakan oleh gempa bumi beberapa bulan lalu, disini berdiri Kuil Hari Sankar. Sayang, kuil bersejarah berusia 300 tahun ini tersisa hanya pondasinya saja.
Vishu Temple berdiri tegak disebelah kuil Hari Sankar seolah menunjukkan keperkasaannya di hatam oleh Gempa. Kuil yang dibangun pada tahun 1590 ini dipersembahkan untuk pemujaan Narasimha, reinkarnasi Dewa Wisnu sebagai manusia berkepala singa.
Melangkahkan kaki, sebuah kuil kecil bergaya newari, saya lupa namanya. Dan di sebelahnya lagi sebuah kuil yang hanya berupa pondasi saja. Sebelum gempa menyapa, diatas ini berdiri sebuah kuil Char Narayan juga dikenal dengan Kuil Jagannarayan. Merupakan kuil tertua di patan Durbar Square yang dipercaya ada sejak 1565.
Di depan Vishnu Temple hingga Char Narayan terdapat sebuah pelataran cukup luas. Bisa dibilang pelataran utama dimana turis serta warga lokal, berdiri menatap sekeliling atau sekedar duduk santai, bercengkrama sambil menatap istana yang berada di sisi Barat. Di tengah pelataran ini berdiri tegak sebuah pillar, di puncaknya terdapat patung Raja Yognarenda Mala sedang bersimbuh menghadap istana. Dibelakang patung sang raja sebuah naga bediri melindungi. Epik!
Melangkah lagi menuju Krishna temple yang berada di sisi Char Narayan. Berwarna abu abu, bentuknya mirip dengan kuil yang berada di depan Chayim Deval Krishna, tapi lebih cantik dan artistik. Sesuai dengan namanya, kuil yang dipersembahkan untuk Dewa Khrisna ini dibangun pada tahun 1667 oleh raja Siddhi Narsingh Mala. Menurut cerita, suatu malam sang raja melihat Dewa Krishna berdiri di depan halaman istananya. Sejak saat itu, beliau memerintahkan untuk membangun kuil tepat di tempat Dewa Khrisna menampakkan diri.
Menariknya saat saya datang kemari bersamaan dengan sebuah acara pemotretan di Krishna temple. Atau sedang shooting sebuah film, entahlah. Seorang model berpakaian tradisional. Dengan riasan khas dengan mata merah di dahinya. Mengingatkan saya akan riasan Kumari Dewi, sang dewi hidup yang dianggap suci oleh masyarakat Nepal. Banyak lampu dan kamera menyorot kearahnya. Saya berhenti sebentar untuk menikmati suguhan menarik mata.
Setelah menyaksikan pemotretan, hasrat hati ingin masuk kedalam kuil menuju hingga lantai atas. Tangganya sedikit curam. Nuansa gelap terlihat. Beberapa bunga dan serbuk merah pemujaan terlihat pintu masuk yang tak seberapa tinggi. Melihat hal tersebut Najin langsung menolak. Tidak mau memaksa, saya cukup menatap hiasan ukir kuil dari luar, dimana lantai pertama kuil menceritakan tentang kisah Mahabarat dan kisah Ramayana di lantai dua.
Bersebelahan dengan Krishna Mandir berdiri Kuil Vishwanath yang dibangun awal abad ke 17. Seperti halnya Kuil lain bergaya newari, Kuil dijaga oleh dua sepasang gajah di pintu masuk. Kuil yang terdiri dua lantai ini didesikasikan untuk dewa Siwa. Didalamnya terdapat lingga yang hanya bisa dilihat oleh penganut agama Hindu yang sedang beribadah. Yang menarik dari kuil ini adalah ukiran kayu dengan detail rumit menggambarkan berbagai gaya bersenggama. Berhubung saya datang bersama Najin, cukup melirik curi curi pandang. Coba kalau datang sendiri atau sama pasangan pasti menamatkan kamus aneka gaya sebagai inspirasi bercinta. Ups…..
Seperti yang saya tuangkan di awal, Patan durbar square memiliki banyak kuil vihara dan istana untuk dijelajah. Mata dan kaki masih menikmati. Nah, sampai di ujung durbar square bagian Timur ini masih ada beberapa kuil, salah satunya adalah kuil Bhimsen. Yang istimewa dari kuil berarsitektur newari 3 tingkat ini adalah keberadaan tiga jendela emas. Ukirannya tentu saja artistik dengan detail rumit yang menjadi ciri khas Newari. Kuil yang didirikan abad ke 16 oleh Raja Srinivasa Malla ini dipersembahkan kepada Dewa untuk kelancaran bisnis dan perdagangan.
Entah suatu kebetulan atau memang dirancang sedemikian, tepat didepan kuil terdapat sebuah pasar seni yang menjual berbagai souvenir khas Nepal. Saya yang menyukai berbagai benda dan pernik pernih unik tradisional menyempatkan cuci mata. Sementara Najin seperti biasa sibuk dengan segerombolan burung dara.
Kegembiraan kami berada di kota tua Patan durbar square belum berakhir. Berderet dengan pasar seni yang berada di sebelah Barat masih ada istana yang luas dan bangunan kuno yang memiliki fungsi khusus. Salah satunya Manga Hatiti, yang letaknya bersebelahan dengan pasar seni. Pada abad itu hingga saat ini tempat kuno ini berfungsi untuk megambil air. Letaknya lebih rendah dari beberapa bangunan lain. Untuk mengambil air terdapat tiga buah pancuran dengan design bebatuan hiasan yang unik. Sangat disayangkan pada saat saya berkunjung kesini air keruh kehijauan, rusak karena gempa. Semoga aliran air dapat berfungsi kembali sehingga penduduk dan juga wisawatan asing bisa menikmati kesegaran air.
Manga hatiti dibatasi oleh sebuah tembok istana. Pintu istana ini berada di depan patung Raja Yognarenda Mala. Saat ini istana berarsitektur Newari dua tingkat ini beralih fungsi menjadi museum. Menyimpan berbagai macam benda benda kuno yang asyik untuk dicermati.
Bagian dalam istana seperti halnya sebuah istana terdiri atas beberapa ruangan dengan fungsinya masing. Di sanggah dengan deretan pilar kayu berukir cantik. Ditengah istana membentang sebuah halaman terbuka.
Istana yang dahulunya digunakan sebagai tempat tinggal Raja Raja Mala ini luas. Membentang panjang di sisi Barat. Behadap hadapan dengan deretan kuil yang berada di sisi Timur. Kami Jelajahi bagian dalam istana hingga mendekati lagi pintu gerbang saat kami masuk.
Sebenarnya Patan memiliki beberapa gerbang untuk memasukinya, bahkan ada banyak jalan tikus tanpa bayar tiket masuk. Saran saya, tetaplah bayar tiket karena uang yang masuk digunakan untuk memelihara bangunan. Termasuk saat gempa saat ini, tiket yang kita bayarkan akan digunakan untuk merenovasi dan memperbaiki bangunan yang rusak.
Setelah puas menikmati arsitektur bangunan kuno dan sejarahnya, kami melamaskan kaki dengan duduk santai di halaman depan istana. Nongkrong bersama penduduk lokal dan turis sambil menatap lagi keunikan keseluruhan kuil dan istana di Patan durbar square.
Menatap Kematian Di Kuil Kehidupan Pashupatinath
Kuil suci agama Hindu yang berada di tepian sunga Bagwati dikenal sebagai tempat pembakaran jasad paling sakral di Nepal
Perjalanan jelajahi wisata di sekitar Kathmandu masih berlanjut. Setelah jelajahi kota kuno Patan Durbar Square, menjelang sore kami menjejakkan kaki menapak di Kuil Pashupatinath. Sebuah kuil kuno yang masuk dalam situs warisan dunia UNESCO. Di sinilah manusia dihantarkan menuju alam kematian.
Melewati gerbang pintu masuk kuil dijumpai banyak penjual bunga dan perlengkapan untuk sembahyang. Deretan penjual souvenir hingga lukisan menawarkan dagangan. Sesaat nampak seperti tempat wisata lainnya.
Berjalan lebih dalam, sebuah sungai lebar dengan aliran air tak terlalu deras. Airnya keruh. Sapi asik merumput di tepian. Sungai suci agama Hindu ini dikenal dengan sungai Bagmati. Alirannya panjang hingga menyatu dengan sungai Gangga di India.
Menyusuri sungai, semakin masuk kedalam area kuil nuansa magis menyelimuti. Asap mengepul. Aroma pembakaran kayu mulai merangsek kedalam hidung. Di seberang sungai, beberapa orang berpakaian putih membersihkan sisa kremasi di sebuah altar terbuka, sementara di sampingnya tumpukan kayu baru menunggu untuk proses kremasi selanjutnya.
Kuil kuil dengan bentuk berbeda berdiri di kedua sisi sungai. Kuil berbentuk Pagoda mendominasi disebelah kanan hingga menanjaki bukit. Sementara di seberang sungai deretan kuil tua, ada yang berbentuk Newari yang menjadi ciri khas gaya arsitektur kuil di Nepal. Dan yang paling besar adalah kuil Pashupatinath.
Kedua sisi sungai dihubungkan dengan jembatan. Ketika akan menyeberangi jembatan langkah kami terhenti, di seberang sungai terlihat jasad seorang wanita tertutup kain putih dan orange. Menyisakan wajah dan kaki yang masih terbuka. Seorang lelaki membasuh kaki dan kepala jasad dengan aliran sungai Bagmati. Proses pembasuhan ini untuk mensucikan jiwa jasad. Sementara keluarga berkerumun membawa untaian bunga marigold, yang kemudian diletakkan diatas tubuh jasad.
Penasaran, saya duduk bersama para penziarah dan juga turis mancanegara yang juga ingin melihat proses kremasi. Kami duduk di sepanjang sungai. Menyaksikan proses kremasi dari sisi seberang.
Setelah disucikan jasad dibawa di atas tandu mengitari tumpukan kayu yang akan digunakan untuk kremasi sebanyak tiga kali dan searah jarum jam. jasad kemudian diletakkan di atas kayu tersebut. Kemudian seluruh tubuh jenazah ditutupi dengan jerami menyisakan muka. Umat Hindu percaya roh keluar dari tubuh melalui kepala.
Dengan membawa obor api penyulut, anak lelaki tertua dari keluarga mengitari jasad searah jarum jam. Tak sanggup, lelaki itu mengitari jasad ibunya, meratap dan menahan tangis, berusaha tegar dan terus mengitari jenazah sebanyak tiga kali.
Saya memalingkan muka kemudian menundukkan kepala. Berusaha menghentikan mesin waktu yang terus mengaduk rasa. Waktu dimana ayah meninggalkan kami selamanya. Leher rasanya tercekik. Berat. Ada air mata yang siap tumpah.
Berusaha tegar, saya menatap Najin. Saya bertanya kepadanya “apakah dia sanggup untuk melihat prosesi kremasi?” Dia bilang tidak apa apa. Dia ingin melihat tanpa rasa khawatir. Di India tempat kami tinggal, prosesi pembakaran jenazah menjadi hal biasa. Hanya saja, kami tidak pernah melihat secara langsung prosesi perabuhan secara lengkap. Prosesi kremasi di Nepal dan India tidak jauh berbeda. Dilakukan dengan ritual sederhana di tepian sungai suci.
Setelah melihat proses kremasi kami melangkahkan kaki melewati jembatan. Menatap kuil utama Pashupatinath lebih dekat. Kami hanya melihat luarnya saja karena hanya umat agama Hindu saja yang diperbolehkan memasuki kuil.
Berdekatan dengan kuil utama, rasa begidik menyelimuti. Saya melihat beberapa jasad yang digotong diatas tandu, datang dan pergi. Bergantian. Jasad datang untuk dibawa ke kuil dan kemudian dikremasi ke tempat lainnya.
Selain kuil utama Pashupatinath, terdapat sederet kuil kuno lainnya. Ada satu kuil yang menarik mata dan menjadi keanehan sekaligus renungan tersendiri. Diantara aroma kematian, kuil bergaya Niwari menampilkan gaya bersenggama ala kamasutra pada ukiran kayunya. Bukankah kehidupan dimulai dengan hubungan dan berakhir dengan kematian?
Kami kembali menuju seberang sungai, menuju deretan dan tingkatan kuil hingga keatas bukit. Didalam stupa stupa tersebut terdapat sebuah lingga. Keberadaan lingga disini berkaitan erat dengan keberadaan kuil Pashupatinath itu sendiri. Legenda bercerita, suatu ketika Dewa Siwa turun ke bumi dengan menyamar menjadi seekor rusa dan berjalan jalan di sekitar sungai Bagmati. Ketika penyamaran terungkap, para Dewa memegang tanduknya untuk memaksa menunjukkan rupa aslinya hingga tanduknya patah. Berabad kemudian ketika seorang menggembalakan sapinya di tepian sungai, dia mendapati sapi menyirami tanah dengan air susunya sendiri. Penasaran, sang gembala mendungkil tanah dan mendapati patahan tanduk dewa Siwa berupa lingga. Begitulah lingga ini dipuja dan disiram susu oleh para peziarah hingga saat ini.
Diantara stupa banyak dijumpai para Sadhu. Petapa suci yang meninggalkan sisi duniawi. Rambut gimbal panjang. Wajahnya berbedak abu, berpakaian dan berhias nyentrik. Wajah mereka kerap kali menghiasi majalah majalah perjalanan yang menggambarkan eksotisme Nepal.
Sebelum meninggalkan pintu gerbang kuil Pashupatinah yang juga dikenal sebagai Kuil Kehidupan, tetiba ada hal yang menarik mata Najin. Dia langsung lari menuju seorang pria bule. Saya hanya tersenyum dan membiarkan dia pergi menghampiri.
Kami bertemu dengan mas bule di Swayambunath dan Patan durbar square. Mas bule ini sibuk menerbangkan drone yang bagi najin itu mirip dengan mainan helicopter remote miliknya. Hanya saja drone ini lebih besar dan dikontrol dengan layar handphone yang lumayan lebar. Dan itu menarik keingintahuannya. Entah apa yang mereka bicarakan. Mereka berbincang asyik di tepian sungai suci Bagwati ditemani seekor sapi yang sedang berbaring santai.
Meneguk Damai di Boudhanath
Stupa yang dipercaya ada sejak abad ke-5 ini merupakan stupa terkuno, terbesar dan termegah bukan hanya di Nepal tapi juga di dunia
Kami berjalan mengikuti arus bersama para biksu juga peziarah. Terdengar lonceng berdenting bergantian. Aroma dupa. Om mani padme hum mengalun damai di udara bersamaan gerak khusyuk para peziarah mengelilingi Boudhanath.
Boudhanath yang masuk dalam situs warisan dunia UNESCO dipercaya ada sejak abad ke-5, merupakan stupa terkuno, terbesar dan termegah bukan hanya di Nepal tapi juga di dunia. Stupa berbentuk melingkar dengan warna warni doa menggantung diujungnya sering dijadikan simbol ikonik wisata di Nepal.
Ujung stupa bertingkat berwarna keemasan, mata sang Budha menatap seluruh penjuru mata angin, bendera doa warna warni menggantung di langit langit yang dipercaya membawa doa dan mantra berhembus hingga ke surga, semua sirna dihempas gempa dahsyat pada bulan April 2015. Kini tergantikan sementara oleh tangga besi yang digunakan pekerja untuk renovasi. Stupa yang menjulang 36 meter kini hanya meninggalkan bagian badan yang berbentuk setengah bola.
Meski bagian atap stupa telah hancur namum semua itu tidak merusak kekhusyukan para peziarah beribadah. Berjalan damai memutari Boudhanath searam jarum jam. Tangan mereka memutar tasbih sembari mengucap mantra dan doa. Sesekali mereka berhenti memutar silinder doa pada dinding stupa. Mereka menyakini siapa saja yang berdoa dan bersujud di stupa akan mendatangkan karma baik yang akan memujudkan semua keinginan.
![]() |
Foto Boudhanath setelah renovasi (sumber : wikipedia) |
Atmosfir yang ditawarkan Boudhanath seolah membawa kita berada di negeri atap dunia, Tibet. Diantara para peziarah banyak beretnis Tibet dengan mengenakan pakaian khasnya. Biksu berpakaian merah marun ala Dalai lama. Kedatangan para pengungsi Tibet di Nepal memunculkan banyak Gompa atau biara Tibet di sekitar Boudhanath. Atmosfir yang sama mengigatkan saya akan Dharamsala yang saya kunjungi beberapa tahun yang lalu. Kota yang berada di kaki Himalaya, India merupakan tempat Dalai lama hidup dalam dalam pengasingan. Di kota inilah saya diberikan kesempatan untuk bertemu dan berbincang dengan Dalai lama.
Langkah kaki membawa kami menuju sebuah vihara besar di Boudhanath. Dua buah lonceng berukuran besar berdiri tegak di antara kedua pilar. Sesekali lonceng di ketuk. Dentingan terdengar ke langit langit.
Masuk kedalamnya aroma dupa semakin pekat, kami disambut sebuah silinder doa bertulis aksara Tibet berukuran jombo. Najin menatap takjub ke silinder doa yang berputar. Sesosok nenek muncul dari balik silinder doa, mengucap mantra, memutari dan menggelindingkan silinder doa. Najin langsung mengikuti. Saya biarkan dengan isyarat tangan ke mulut yang berarti jangan berisik. Dia berjalan mengitari dengan menatap takjub silinder doa yang berputar lebih cepat karena putaran tangannya.
Berjalan menuju lantai atas Vihara, dari sini kami bisa melihat nyata kerusakan parah pada bagian atap stupa Boudhanath. Dari sini pula terlihat arus seluruh peziarah mengelilingi Boudhanath. Nampak seperti orang bertawaf. Bedanya, Umat Muslim mengelilingi Ka’bah berlawanan dengan jarum jam.
Kami menemukan hal menarik lainnya, tempat pembuatan lilin. Cairan bahan lilin dari sebuah ceret dituang pada cawan berukuran kecil kecil. Di dalam cawan kemudian diletakkan sumbu penyala. Lilin yang sudah dinyalakan diatas sebuah nampan berukuran besar kemudian didistribusikan ke seluruh vihara di sekitar Boudhanath.
Keluar Dari Vihara, terdengar nyaring suara doa dilantunkan bersamaan. Mengikuti arah datangnya suara yang mengarahkan kami pada sebuah tenda berukuran besar. Didalamnya beberapa biksu dan juga peziarah duduk bersama berdoa. Pada sebuah dinding terpajang sederet foto biksu suci, salah satunya Dalai Lama.
Kami mengunjungi beberapa Vihara kecil dan juga dompa di sekitar Boudanath. Banyak patung sang Budha didalamnya, foto foto para biksu suci, lilin dan dupa menyala. Para biksu berdoa. Ada yang terdiam sembari membaca kitab suci. Di tempat lain seorang biksu melantunkan doa dengan irama seperti sebuah nyayian. Sesekali datang penziarah membawa makanan untuk diberikan kepada biksu dan juga untuk sajian di meja altar sang Budha.
Kegembiraan berada di Boudhanath bagi kami adalah kedamaian, sedangkan bagi Najin adalah keberadaan kumpulan burung dara. Banyak sekali jumlahnya.
Sebelum balik ke hotel, kami mampir ke toko souvenir untuk membeli celana khas Nepal. Tak lupa kami menyantap mie goreng ala Tibet di sebuah restoran dekat Boudanath.
Menyudahi hari berkeliling mengunjungi wisata di Kathmandu seharian, mulai Swayambhunath, Telusuri Patan Durbar Square, Menatap Kematian di Kuil Pashupatinath dan Boudhanath, betapa negeri yang berjuluk negeri seribu dewa ini memiliki toleransi beragama yang tinggi. Kuil agama Hindu berdamping mesra dengan Stupa agama Budha. Mereka beribadah tanpa terusik satu dengan lainnya. Damai
Mengintip Annapurna Di Sarangkot
Ketika Annapurna muncul menampakkan diri perlahan dari balik kabut tebal, saat itu pula sebuah harap dilangitkan
Jalanan meliuk menanjak membebat bukit. Sesekali menukik meluncur ke bawah. Ladang, pepohonan lebat dan jurang menemani di sisi jalan. Mobil city car tua yang kami sewa masih tangguh melewati medan perbukitan yang akan membawa kami menuju Sarangkot.
Sarangkot sebuah kawasan yang bertengger di perbukitan pada ketinggian 1600 meter. Terkenal sebagai destinasi wisata populer di Phokara, Nepal. Tawarkan panorama rantai pegunungan Himalaya, mulai dari Dhaulagiri, Anapurna dan Manaslu.
Semakin ke atas, kabut tipis menyergap. Dingin menyelimuti. Perbukitan yang lembab. Tak nampak lekuk pegunungan bersalju khas Himalaya yang saya damba. Sejenak Sarangkot terlihat tidak ada bedanya dengan suasana desa pegunungan di Indonesia.
Jalanan sepi. Sesekali nampak penduduk lokal berjalan kaki. Ada yang bermotor dengan membawa setumpuk rumput. Kami juga berpapasan dengan beberapa turis manca negara berjalan santai menapaki jalanan. Ada juga yang datang bersama guide dengan membawa peralatan paralayang. Beberapa tahun terakhir Sarangkot dikenal sebagai salah satu lokasi paralayang terbaik di dunia.
Sampai di hotel kami beristirahat sebentar, meluruskan punggung setelah lebih dari 8 jam perjalanan menggunakan bus dari Kathmandu ke Phokara. Kemudian langsung lanjut menuju Sarangkot yang memakan waktu sekitar satu jam an. Kebanyakan turis memilih tinggal di Phokara dibandingkan di Sarangkot. Pagi buta mereka berangkat ke Sarangkot menyaksikan Matahari terbit. Kami lebih memilih tinggal di Sarangkot, selain karena ingin menyesap hening dan dingin, juga karena pagi pagi buta tak perlu bermacet ria untuk menuju gardu pandang. Cukup bangun pagi dan jalan kaki.
Setelah cukup beristirahat dalam hotel, sore itu kami jalan kaki menuju gardu pandang. Letaknya tak jauh dari hotel. Melewati jalan setapak di sebelah hotel. Kemudian cukup mengikuti liuk jalanan setapak bertangga yang ada. Tidak terlalu melelahkan. Hanya saja hawa dingin merasuk ke dalam jaket membuat nafas terasa berat. Ditambah kabut tebal menyergap
Kami sampai di gardu pandang. Ada beberapa turis berdiri di sana. Di bawah sana nampak lembah lembah dengan aliran sungai yang lebar. Di sisi lain nampak danau Phewa yang luas di Phokara. Barisan bukit sambung menyambung tak berujung.
Tapi di mana penampakan Anapurna dan Machaphucare yang ikonik itu? Tentu saja terhalang kabut di balik perbukitan. Kami hanya bisa berharap keajaiban datang, kabut menghilang. Atau berharap Bruce all mighty datang, menghapus kabut kabut tebal dengan jemarinya. Pemikiran menggelikan yang membuat saya tersenyum sendiri.
Kami gerakkan kaki agar badan tetap hangat sambil menikmati waktu menatap lembah lembah dibawah sana. Semakin lama kabut tebal mengunci pemandangan. Kami kembali ke hotel dengan harapan besok kami kembali lagi menikmati matahari terbit dengan pemandangan spektakuler.
Hotel kami klasik. Cukup luas dan panjang. Dinding batu batu bata merah dibiarkan apa adanya tanpa polesan. Terdapat perapian kayu tradisional. Di ujung terdapat meja dan kursi kayu panjang. Pintu dan jendela kaca yang lebar membuat kami bisa menikmati pemandangan luar secara langsung.
Sore hari kami habiskan duduk di depan hotel, melihat aktifitas warga setempat. Anak anak bermain. Malamnya kami habiskan dengan bercengkrama. Suasana sepi, khas pedesaan. Bagi yang menyukai ketenangan, membaca buku dan menulis, Sarangkot adalah tempat yang cocok.
Keeseokan hari, dalam kantuk kami berjalan kembali menuju gardu pandang. Dengan penuh harap, kami berjalan dalam gelap, dingin dan kabut. Lama Menunggu hingga mentari menyinari, kami masih disuguhi pemandangan yang sama, kabut dan kabut.
Pagi itu rasa lelah kami dihangatkan dengan semangkok bubur gandum yang terhidang di meja hotel. Gurih manis, kombinasi susu dan gulanya pas. Setelah menikmati bubur gandum hangat terenak yang pernah saya rasakan, kami bersiap kembali ke Phokara.
Menunggu kedatangan bapak sopir, kami menunggu di teras hotel Menyaksikan kegiatan pagi penduduk setempak. Sambil mengumbar senyum kepada meraka. Tentunya tanpa lambaian tangan ala miss Universe.
“Hai ” panggil ibu pemilik hotel sembari menunjuk kearah atas
“Annapurna” lanjutnya dengan senyum mengembang
Ujung gunung berselimut salju diterpa sinar mentari pagi. Lambat laun kabut mulai turun, atap dunia itu semakin nyata dihadapan mata. Nampak begitu dekat. Bisa dibayangkan betapa besar dan angkuhnya pegunungan Himalaya. Seperti yang pernah saya lihat sebelumnya di Kashmir dan Manali. Ah, andai saja tidak ada kabut saya bisa menatap panorama seharian dari balik kamar hotel.
Menatap takjub, menahan tangan saya untuk mengambil kamera. Duduk terdiam menikmati kindahahan ciptaan Yang Maha Esa dengan kekaguman. Menikmati sejenak, lagi lagi berharap semua kabut menghilang, tapi Annapurna seolah muncul untuk menyapa saja.
“You should came here again” Ucap pak Ram pemilik hotel
“I will” jawabnya saya dengan senyuman dan penuh harap
Mungkin Annapurna tak ingin saya menatapnya jauh. Mungkin Annapurna ingin saya menanjakinya, menyapa kehidupan desa desa kecil di sana. Bersama gerak roda kendaraan meninggalkan Sarangkot, ada harap jika kelak takdir membawa saya untuk bisa kembali ke Nepal
Merenda Tawa di Danau Phewa, Phokara
Setiap langkah menapaki kawasan danau terbesar kedua di Nepal ini ada tawa yang menghidupkan rasa
Dinginnya pagi menyelimuti ketika kami gegas berjalan meninggalkan hotel. Berbekal tiket yang sudah kami pesan melalui resepsionis hotel sehari sebelumnya, kami berjalan kaki menyusuri labirin kawasan Thamel menuju bus point. Mudah saja menemukan bus yang akan membawa kami menuju Phokara.
Terletak 200 Kilometer di sebelah Barat kota Kathmandu, Phokara yang berada di kaki Annapurna ditempuh dalam waktu kurang lebih 8 jam menggunakan Bus. Tentu perjalanan selama itu bakal membosankan bagi Najin. Sebelum berangkat, saya persiapkan beberapa camilan. Baterei handphone juga tablet penuh. Dalam bus tersedia wifi, tapi kondisinya ya gitu deh, putus nyambung kayak hubungan kamu dan dia.
Perjalanan ke Phokara di dominasi dengan perbukitan. Jalanan naik turun meliuk membebat bukit. Sementara jurang menganga dengan dasar sungai yang deras dan bening. Desa jarang jarang dengan hamparan kebun, bukit, rantai pegunungan tak berujung menjadi pemandangan yang menyegarkan.
Dalam perjalanan kami berhenti di sebuah kedai makanan. Lumayan bersih. Ada banyak menu yang tersaji prasmanan. Sajian utama nasi dan roti. Lauknya kebanyakan menu vegetarian, ada sayur dengan bumbu kare dan mie goreng. Kami juga menyempatkan membeli jajanan khas Nepal.
Alhamdulilah lancar sampai di Phokara menjelang sore. Phokara dikenal sebagai ibukota pariwisata Nepal. Menjadi pintu gerbang pendakian menuju deretan pegunungan Himalaya. Jadi nggak heran ketika kesini barengan sama turis dengan keril gede gede.
Sampai di terminal Phokara, kami langsung menyewa mobil menuju Sarangkot. Sehari semalam kami berada di kawasan perbukitan yang menawarkan tempat terbaik menikmati matahari terbit dengan panorama Annapurna, Dhaulagiri dan Maccapuchhere. Baru keesokan harinya kami kembali lagi ke Phokara.
Jelajahi Danau Phewa
Sesampainya di Hotel di Phokara kami disambut dua kegembiraan, pertama kami diperbolehkan check in lebih awal, yang kedua hotel kami di upgrade. Hotelnya bersih. Yang paling bikin hepi, balconi hotel menghadap langsung ke danau Phewa, danau terbesar kedua di Nepal.
Kami langsung jalan jalan di sekitar danau yang paling banyak dikunjungi wisatawan di Nepal. Annapurna hanya berjarak sekitar 28 KM dari sini. Danau ini terkenal dengan cerminan puncak gunung Ananapurna, Daulagiri dan Maccapuchhere di permukaannya. Karena kabut kami tak melihat keindahan itu.
Kami jalan kaki menyusuri walking track di tepian danau. Banyak cafe dan juga warung sederhana di sekitar danau. Tinggal pilih sesuai budget. Ada juga tempat pengembangbiakan ikan. Bisa juga bermain kayak. Yang menjadi ikon adalah keberadaan Doonga yakni perahu dengan warna warni ngejreng yang parkir tepain danau. Perahu ini bisa kita sewa untuk menyusuri danau seluas 5 Km2.
Menuju Kuil di sebuah pulau di tengah danau Phewa
Di ujung walking track, sebuah dermaga kecil dan banyak penduduk lokal mengantri. Mereka adalah peziarah yang akan berkunjung ke kuil Tal Barahi yang berada di sebuah pulau di tengah danau. Tal sendiri berarti danau. Kami duduk diatas perahu bersama para peziarah yang datang dengan membawa sesaji. Bersama semilir angin yang berhembus, sebuah doa dan harap terpancar dari wajah mereka.
Suara lonceng terdengar dari kuil Hindu dua lantai yang dipersembahkan untuk Dewi Durga, pelindung para dewa. Kuil utama di Phokara ini ramai oleh peziarah. Di pulau kecil ini terdapat beberapa toko menjual berbagai souvenir. Seperti halnya waktu kami berkunjung ke Boudhanath, keberadan burung merpati yang jamak di sini menjadi keceriaan Najin. Sesekali kami bermain air dan menatap ikan di tepian pulau.
Menikmati kelezatan pizza dengan yak cheese
Siang hari perut bergemuruh meminta jatahnya. Teringat seorang teman blogger berbagi cerita tentang kuliner wajib coba di Nepal, salah satunya adalah pizza dengan yak cheese. Yak adalah hewan semacam kerbau dengan bulu panjang lebat yang hanya dijumpai di daerah pegunungan Himalaya.
Beruntunganya, tak jauh dari hotel tempat kami menginap ada kedai penjual pizza. Kami memesan vegetarian pizza berukuran jumbo. Pizza dibuat fresh. Dibakar dengan menggunakan oven tradisional dari bahan bakar kayu. Aromanya sukses bikin ngiler.
Pizza dengan topping potongan bawang, paprika hijau dan lelehan keju yang banyak ini dihidangkan dengan pinggiran sedikit gosong. Rasanya gurih, nggak terlalu asin dengan teksturnya keju yang lembut. Dalam sekejap satu loyang pizza masuk ke dalam perut kami.
Setelah kenyang, kami jalan jalan kembali menyusuri jalanan utama kota Phokara sekalian mencari konter penjual tiket balik ke Kathmandu. Dibandingkan dengan Kathmandu, Phokara lebih tertib, tenang dan teratur. Jalannya luas. Trotoar lapang. Kanan kiri jalan berjejer hotel, aneka macam toko souvenir, baju, restoran, bar, agen perjalanan dan yang sukses membuat kami keluar masuk toko apalagi kalau bukan berbagai alat untuk pendakian.
Santai Sore Menatap Sunset di Pehwa
Sore hari kami bersantai di tepian danau Phewa. Tak seperti siang tadi, sore ini lebih banyak wisatawan mancanegara bersantai di tepian danau, ada yang jogging atau jalan sore, baca buku, menulis, ngobrol dengan teman atau sekedar melamun.
Bersama tenggelamnya matahari dari balik baris perbukitan, saya berharap bisa kembali mengunjungi danau Phewa dan tinggal lebih lama lagi. Setiap langkah menapaki kawasan danau ada tawa dan ketentraman yang saya rasakan.
Nepal 2016
Pagi Yang Mistis di Kota Kuno Bhaktakpur Durbar Square
Bhaktapur adalah kota kuno yang merupakan rumah bagi seni dan arsitektur tradisional, monumen bersejarah, kerajinan tembikar, kuil, adat istiadat lokal, budaya, festival, dan musik mistis
Saya menggeleng dengan senyuman ketika seorang penjaga meminta saya membayar tiket masuk seharga tiket lokal.
“Bangladesh?” tanya bapak penjual tiket
“No, We are from Indonesia” sambil menyodorkan passport
Ini adalah pertama kali saya mengunjungi sebuah tempat dan dikira dari Bangladesh. Sejak kemarin jalan jalan ke Kathmandu, Sarangkot dan Phokara bahkan ke negara lain biasanya mereka mengira saya dari Malaysia. Tak apa, mungkin perjalanan estafet, seminggu di Kashmir sambung jalan jalan Nepal telah membuat “tampilan” saya berubah.
Harga tiket masuk kota tua Bhaktapur Durbar square dibedakan antara warga lokal termasuk negara sekitar Nepal seperti India serta Banglades dan turis mancanegara. Lumayan, beda ratusan ribu. Teringat tiket masuk itu untuk biaya pemeliharaan, saya memilih untuk membayar sebagai turis asing. Apalagi Nepal barusan saja diporak porandakan oleh gempa, tentu membutuhkan biaya yang tak sedikit untuk memperbaiki beberapa situs yang telah hancur.
Kota tua Bhaktakpur yang masuk dalam warisan UNESCO tidak dilewati kendaraan bermotor. Saya pikir setelah membeli tiket kami bakalan jalan kaki menuju hotel yang berada dalam kawasan kota tua. Ternyata tidak, mobil yang membawa turis menuju atau menjemput hotel diperbolehkan masuk.
Dari balik jendela mobil, bangunan tua dengan warna tua yang khas tersaji sepanjang jalan. Kuil dengan deretan patung penjaga, bangunan bertingkat bergaya newari khas Nepal, kayu tua berukir membawa diri masuk dalam lorong waktu yang membawa ke masa lampau. Membuat kaki gatal untuk segera jalan kaki menjelajahi kota yang dijuluki kota Pamuja.
Melewati gang gang sempit diantara pertokoan dan rumah penduduk, sampailah kami di hotel yang sudah kami booking secara online sebelumnya. Hotel yang tak terlalu besar bernuansa vintage. Menapaki tangga kayu menuju kamar kami berada di lantai tiga. Berdekatan dengan roof top hotel.
Setelah cukup beristirahat. Sore sebelum matahari tenggelam, kami santai sebentar sekitar hotel. Melihat aktifitas penduduk setempat. Banyak penjual sayur mayur. Penduduk berusia senja santai bercengkrama, sementara anak anak bermain bersama di durbar square. Sore yang menenangkan.
Mentari tenggelam di ufuk barat menyisakan malam yang terasa sunyi dan sepi. Lelah membuat kami tidur lebih awal. Berharap kesunyian membawa kedamaian, tapi lolongan anjing yang panjang bersautan membuat saya terbangun tengah malam. Rasa begidik menyelimuti. Membuat saya terjaga hingga pagi menyapa.
Teng teng teng sura lonceng dari kuil terdengar nyaring. Saya buka jendala. Mentari mulai menyapa. Menatap sekeliling, beberapa wanita melakukan puja di halaman rumah. Menatap Najin yang masih tertidur lelap. Nampak lelah. Tentu saja, kami datang Ke Bhaktakpur setelah dari Phokara dengan lama perjalanan sekitar 10 jam dalam bus. Tak ingin mengganggunya, saya menuju ke roof top hotel untuk menyambut mentari pagi.
Semburat jingga muncul dari balik baris perbukitan yang memeluk kota kuno Bhaktakpur. Perlahan menyinari atap atap kuil yang tegak menjulang ke langit langit. Kota kuno Bhaktakpur yang merupakan satu dari tiga durbar yang bersemayan di lembah Kathmandu nampak lebih magis dan mistis.
Seiring mentari meninggi, suara lonceng dari kuil semakin sering terdengar. Dari atas sini nampak penduduk lokal membawa sesaji menuju kuil. Gatal kaki ini ingin turun untuk menyaksikan prosesi keagamaan di kuil. Saya kembali ke kamar. Bersiap siap sekalian menunggu hingga Najin bangun.
Taumadhi Durbar Square
Kota tua Bhaktapur terbagi atas beberapa Durbar Square yang menjadi pusat kegiatan masyarakat lokal. Mulai Taumadhi Square, Bhaktakpur durbar square, Dattatreya Square dan Pottery Square. Letak masing masing durbar square berdampingin satu dengan yang lainnya.
Hotel yang kami tempati berdekatan dengan Taumadhi Durbar square. Dikenal sebagai area pasar jalanan. Pagi itu ketika kami keluar hotel, deretan penjual sayur mayur terlihat di sepanjang gang. Di Tumadhi durbar banyak dijumpai penjual bunga.
Geliat pagi aktifitas keagamaan masyarakat terpotret dihadapan kuil Nyatphola. Dalam bahasa Newari Nyatphola berarti lima cerita atau simbol dari lima elemen dasar. Pondasi candi dibuat lebih lebar dari pada alasnya. Hal ini dipercaya membuat kuil batu setinggi lima lantai setinggi 30 meter ini selamat dari gempa bumi tahun 1934 dan 2015.
Kuil tingkat lima yang dibangun oleh Raja Bhupatindra Malla merupakan kuil terbesar dan tertinggi di Nepal. Kuil Dibangun pada tahun 1702 memiliki kesempurnaan arsitektur dan keindahan artistik yang luar biasa. Hal ini nampak dari keseluruhan ukiran kayu yang menopang indah disetiap sudut dan atap kuil.
Kuil yang terkenal dengan nama "Pancha Tale Mandira" ini di dedikasikan untuk Dewi Shiddhilaxmi. Terdapat Arca-arca yang berjejer di kedua sisi anak tangga. Ada lima tingkatan arca yang dibangun sebagai penjaga candi dan dewi yang bersemayam. Masing-masing penjaga di kedua sisi sepuluh kali lebih kuat dari yang di bawahnya. Di alas paling bawah adalah pegulat Jayamel dan Phattu. Di atas mereka ada dua gajah, diikuti oleh dua singa, lalu dua griffin dan terakhir dewi tantra Byaghrini dan Singhini. Konon, dibutuhkan waktu hingga tiga generasi untuk menyelesaikan candi.
Ketika menaiki tangga rasanya dag dig dug ser. Bukan apa apa tapi karena kemiringan tangga lumayan tajam. Kita bebas menaiki tangga tapi tidak diperbolehkan memasukinya. Kuil terbuka hanya setahun sekali pada saat festival.
Selemparan mata ada Kuil Bhairabnath. Kuil ini nampak sibuk dengan kerumuman peziarah. Warga berbondong bondong datang kemari dengan nampan sesaji berisi bunga, daun buah dan kelapa. Dari kuil inilah lonceng dibunyikan terdengar hingga ke ke seluruh gang gang di sekitar durbar square.
Ukuran loncengnya lumayan besar. Dengan dua bauh patung penjaga di sebelahnya. Taburan bunga memenuhi bagian depan kuil. Beberapa melakukan persembahan dengan memotong ayam. Merasa tidak nyaman dengan darah dimana mana, saya meminta Najin untuk berpindah. Najin justru merasa biasa saja, malah dia meminta saya untuk membunyikan lonceng. Duh, Gusti!
Bhakatakpur Durbar Square
Menjelang siang kami berjalan melewati lorong pertokoan menuju Bhaktakpur Durbar Square. Dikenal sebagai rumah bagi seni dan arsitektur tradisional, monumen bersejarah dan kerajinan tangan, jendela megah, industri tembikar dan tenun, kuil yang sangat bagus, kolam yang indah, adat istiadat lokal yang kaya, budaya, agama, festival, dan musik mistis. Bhaktapur adalah kota kuno yang terpelihara dengan baik yang dengan sendirinya merupakan dunia untuk dijelajahi bagi wisatawan.
Sepertinya Patan Durbar Square, Bhaktkapur dahulunya merupakan pusat pemerintahan Raja Malla. Bahkan yang terbesar dari ketiga Kerajaan Malla yang berada di lembah Kathmandu. Menjadikanya ibukota Nepal selama kerajaan Malla berkuasa hingga pertengahan abad ke 15.
Dibandingkan dengan dua kerajaan Malla lain yaitu Patan dan Kathmandu, secara historis Bhaktakpur Durbar Square lebih terisolasi. Jaraknya lebih jauh. Tapi lebih luas dan menawan. Durbar square yang sangat luas ini dikelilingi dengan deretan kuil dengan arsitektur berbeda. Ada yang bergaya newari dipenuhi dengan ukiran kayu yang rumit. Dan ada pula yang bergaya India. Masing masing kuil yang dipersembahkan untuk para dewa berbeda.
Sebagian kuil ada yang masih tegak berdiri. Sebagain rusak dihantam gempa. Dan ada yang benar benar hanya meyisakan pondasi bagian bawah saja.
Diantaranya banyak bangunan yang paling terkenal dan terindah adalah 55 jendela yang merupakan istana Raja. Halaman istana ini paling luas dan terawat. Dibangun pada masa pemerintahan Raja Malla Bhupendra Malla yang memerintah dari 1696 hingga 1722 M.
Golden gate
Berdekatan dengan istana raja, terdapat Golden gate yang terkenal. Gerbang yang megah dan indah ini dibangun oleh para pengrajin yang tangannya dikatakan telah dipotong setelah diselesaikan oleh raja Bhadgoun yang iri sehingga tidak ada lagi mahakarya seperti itu yang dapat direproduksi
Dattatreya durbar square
Di ujung timur, Kuil Dattatreya menarik perhatian. Awalnya dibangun pada tahun 142, Kuil Dattatraya setua Istana Lima Puluh Lima Jendela.
Candi Dattatraya bergaya pagoda tiga lantai, dengan patung-patung trinitas Hindu, (Brahma sang pencipta, Wisnu sang pemelihara, dan Siwa sang perusak). Dibangun pada masa pemerintahan Raja Yaksha Malla (1428 M - 1482 M) dan dibuka untuk umum sekitar 1486 M, hanya setelah kematiannya.
Candi ini, menurut kepercayaan masyarakat, dibangun dari sebatang kayu dari satu pohon. Di pintu masuk ada dua patung besar pegulat Jaiput, Jaimala dan Pata (seperti di Kuil Nyatapola), sebuah "Chakra", dan patung logam Garuda, dewa seperti burung. Di sekitar kuil terdapat panel berukir kayu dengan dekorasi erotis. Kemudian diperbaiki dan direnovasi oleh Raja Vishwa Malla pada tahun 1548 A.D.
Pottery Square
Terakhir kami mengunjungi Pottery Durbar Square. Pusat pembuatan tembikar di Bhaktakpur. Melihat penduduk setempat mengukir tanah lihat menjadi patung hingga peralatan yang digunakan untuk keseharian menjadi hal yang menyenangkan. Hasil kerajinan kemudian dikeringkan di pusat alun alun. Disekitar sini juga banyak penjual kerajinan yang bisa dijadikan oleh oleh.
Meski lelah tapi kaki ini masih ingin menjelajah lebih. Masih banyak tempat tempat sakral, unik dan mistis yang belum kami kunjungi di kota Tua ini. Mengingat Najin yang sudah lelah dan lapar, kami kembali ke hotel menikmati makan siang. Hingga taxi datang mengantarkan kami ke kathamndu.
Kelak jika suatu saat saya bisa kembali Nepal. Ingin kembali menikmati magisnya pagi berteman aroma bunga dan suara lonceng dari kuil kuil tua.
Jelajah Nagarkot, Pedesaan Berselimut Awan di Nepal
Nagarkot berada di atas perbukitan terkenal sebagai salah satu spot sunrise terbaik di Nepal
Itinerary perjalanan ke Nepal saya buat menyenangkan dan santai. Biar Najin nggak bosen dan menikmati perjalanan. Setiap harinya tempat yang kami kunjungi bervariasi, setelah jelajah kota tua selanjutnya jelajah alam. Untung saja, letak wisata di Nepal juga sangat mendukung. Searah. Jadinya nggak harus bolak balik.
Kemarin setelah jelajah kota tua Bhaktakpur, hari ini kami menuju ke arah Timur Nepal. Menuju wilayah perbukitan Nagarkot. Berada di ketinggian 2195 meter diatas laut terkenal sebagai salah satu spot sunrise terbaik di Nepal. Tentu dengan panorama deretan pegunungan Himalaya yang epik.
Karena semalaman saya tidur tak nyenyak karena lolongan anjing, dalam perjalanan mata ini terlelap. Begitu pula Najin dan Mbak Andri mereka juga tertidur lelap. Sesekali terbangun menatap keluar. Angin berhembus begitu segar.
Mata ini melek ketika jalan mulai menanjak. Sawah, gandum menghampar menghijau. Bukit bukit memeluk persawahan dengan gagahnya. Udara semakin bersih dan sejuk.
Pedesaan Nagarkot memang cakep. Berada di ketinggian 200 Meter diatas permukaan laut. Menawarkan pemandangan lembah Kathmadu. Lembah yang mengayomi tiga durbar square terkenal yang dahulu menjadi pusat kerajaan.
Lokasinya yang strategis berada di ketinggian menjadinya tempat untuk mengawasi keamanan sekitar kerajaan. Suasana yang sejuk juga digunakan keluarga istana sebagai tempat wisata saat musim panas tiba. Hingga kini Nagarkot dikenal sebagai destinasi populer dikalangan wisatawan mancanegara.
Hotel At the end of Universe
Dengan kontur perbukitan, Nagarkot dipenuhi dengan hotel hotel yang berjajar di punggung bukit. Salah satunya Hotel At The End of Universe yang menjadi pemberhentian perjalanan kami. Dengan gegas kami menanjaki tangga menuju lobi hotel yang berada di atas bukit.
Hotel At the end of Universe, selain namanya bikin penasaran hotel ini kami pilih karena reviewnya bagus. Menjadi rekomendasi banyak teman traveller. Foto foto hotel juga cakep banget. Berada di ujung bukit berteman deret perbukitan.
Ada beberapa pilihan kamar mulai yang private sampai dorm. Sederhana terbuat dari batu bata dan kayu. Lebih mirip dengan villa dengan kamar yang berpencar pencar. Rindang dibawah pepohonan. Kamar terasa lembab dan dingin.
Berada di ujung ketinggian. Hotel ini menawarkan view baris pegunungan Himalaya dari berbagai arah. Cukup duduk santai di beberapa kursi di halaman hotel bisa melihat cakepnya pegunungan. Bikin betah. Cocok buat duduk santai dan bermalas malasan. Beberapa turis datang kemari untuk menatap keindahahan baris pegunungan.
Saat asyik duduk santai menatap panorama sekitar tetiba “Hai Boy, come here“ membuat kami bertiga menghentikan lamunan. Pegawai hotel mendatangi dengan senyuman dengan membawa permainan tradisional. Najin gegas berdiri menyambut dengan senyuman. Mereka kemudian menunjukkan ke Najin bagaimana cara memainkannya. Saya lupa apa nama permainan ini di Nepal. Permainan nampak mudah ini ternyata cukup susah.
Malam hari suasana hening dan dingin banget. Makan malam kami nikmati di restoran hotel yang dipenuhi dengan wisatawan bule bercengkrama. Kami satu satunya tamu hotel dari Asia. Semakin malam semakin dingin dengan hembusan angin yang bikin kami katu’en. Kami lebih memilih menghabiskan malam dalam hotel berteman kesunyian dan kenangan.
Tak lama kemudian suara glodakan menyapa. Kamar yang kami tempati terdiri dari dua lantai. Diatas kamar kami, masih ada satu kamar lagi. Dihuni oleh pasangan bule. Terdengar suara glodakan dan kayu yang berdenyit. Semakin lama semakin gaduh dan tawa. Tanpa desahan. Syukurlah, kalau iya, saya langsung ngungsi, bawa anak woi.
Lets get lost at Nagarkot
Bukan saya kalau nggak hobi menyasarkan diri. Sore hari setelah shalat Ashar, tanpa banyak aktifitas kami memutuskan jalan jalan sore keliling desa di sekitar hotel. Tanpa tahu mau kemana. Tanpa peta. Hanya mengikuti naluri.
Jalanan sekitar hotel ini seperti halnya jalanan perbukitan, berkelok kelok. Naik turun. Ditemani rimbun pepohonan kanan dan kiri. Rindang dan sejuk. Dan tentu jurang menganga dibawah sana.
Banyak hotel hotel baru mulai dibangun. Rumah jarang jarang. Jalanan sepi. Hanya seesekali beberapa penduduk lokal melintasi. Ada warung warung sederhana. Penduduk lokal cangkruk. Sapaan ramah tersunging dari bibir kami.
Semakin jalan jauh, jalanan semakin sepi. Nggak takut sama sekali. Pepohonan di kanan kiri semakin rimbun. Jalanan naik turun membuat nafas naik turundalam irama yang masih beraturan. Tak kami temui wisatawan sama sekali. Sesekali kami berpandangan, apakah lanjut menyusuri jalan atau pilih balik ke hotel.
Kepalang tangung, sudah jalan sore, lagian juga tak banyak yang bisa kami lakukan di hotel. Sore itu Pegunungan juga tertutub awan puth tebal. Dah lah, Lanjut nyasar aja.
Setelah melewati sebuah kelokan jalan, tetiba muncul di hadapan kami perbukitan tak berujung. Bukit dengan lekuk lekuk yang mirip dengan kue pie terbalik. Mengingatkan saya akan gunung Batok yang berada di sebelah gunung Bromo
Kami saling menatap dan tertawa riang. Memotret. Duduk santai menikmati perbuktian dengan desa desa dibawahnya. Dan beberapa turis menyapa, rupanya mereka menghabiskan sore dengan jalan sehat sekalian explore pedesaan dibawah sana. Ini yang selama ini jarang saya lakukan ketika travelling, jalan sampai gempor sih sering tapi pagi atau sore niatin explore sekalian olah raga itu jarang banget.
Menyambut Mentari Pagi di Nagarkhot Tower
“Mam, its time to go now” seorang laki laki mengetok pintu hotel. Kami terbangun. Kami seharusnya sudah siap jam 5 pagi, tapi kami masih terbangun, belum siap siap.
Akhirnya kami berangkat apa adanya. Berangkat dengan baju tidur yang kami pakai. Saya sendiri mengenaka long john berlapis gamis. Najin juga menggunakan inner wear hangat dan kaos. Kami cabut dengan menyambar jaket tebal dan sweater. Begitu pula Mbak Andri, cukup menyambar jaket.
“Good morning” sambut mbak bule dalam mobil. Duh malunya, mbak Bule dah nungguin kita. Dah cakep dan rapi menggunakan baju sport tanpa jaket. Kami hanya bisa tersenyum melihat diri sendiri yang mengenakan pakaian dobel dobel. Kita yang alay atau mbaknya yang kebal?
Jalanan begitu sunyi. Rumah rumah penduduk desa masih tertutup rapat. Jalan diterangi temaram lampu. Dingin menusuk tulang.
Setelah sampai, kami menanjaki anak tangga yang landai menuju perbukitan. Embun dingin keluar dari hidung dan mulut kami. Nggak sabar rasanya sampai disana dan menikmati pagi dengan pemandangan yang wow!
Sampai diatas bukit disambut sebuah menara pandang. Lumayan tinggi besar dengan tangga besi. Diatas menara ini tersedia tempat untuk menikmati pemandangan.
Menatap menara saya hanya bisa tertawa ngakak dalam hati. Bagaimana saya menapaki tangga menara yang lumayan tinggi dengan mengenakan gamis. Kesrimpet, mampus!
Dalam ragu saya cancel rencana naik menara pandang. Toh dari atas bukit sini bisa lihat pemandangan yang tak kalah cakep. Lagian Najin juga nggak mau naik menara, takut dan terlalu tinggi baginya.
Tapi lama kelamaan hati ini terusik “dari ini saja bagus, apalagi dari atas sana” “Woi, jauh jauh kesini dalam dingin cuman berhenti disini, naik sono” Duh kegilaan apa lagi ini. Setelah mbak Andri turun dari menara, saya bergantian nekat naik keatas.
Bismillah, perlahan dengan kamera DLSR nyelempang ke tubuh, saya menaiki tangga perlahan. Tangga besi tegak ini lumayan bikin jantung copot. Tangan dan kaki berirama menapaki tangga besi satu persatu. Terasa licin.
Saya hempas rasa takut yang ada dipikiran saya tentu saja sunrise dengan panorama epik deretam pucuk pegunungan Himalaya. 8 dari 13 puncak terlihat dari menara pandang, mulai dari Annapurna, Manaslu, Ganesh Himal, Langtang, Jugal Rolwaling, Numbur termasuk paling terkenal, Everest. Dibandingkan spot lainnya, Nagarkot menawarkan view paling lebar dan paling mantap.
Dengan rapalan doa, rasa percaya diri setengah setengah akhirnya sampai jumpa di puncak menara pandang. Dan sialnya bukan pemandangan dalam angan yang saya dapatkan, yang terlihat hanyalah lautan awan. Negeri diatas awan bahasa kerennya. Deretan puncak pegunungan Himalaya tertutup awan.
Nasib sial memang, di Sarangkot beberapa hari lalu kami juga tidak bisa menikmati puncak Annapurma karena kabut tebal. Dan hari ini nasib sial masih menghantui. Nasib! Nasib!
Jika menatap jauh kesana hanyalah gumpalan awan, coba noleh kanan kiri, siapa tahu cerah, banyak bule cakep. Hahaha. Dan benar saja, lirik kanan kiri dengan elegen banyak mas mas bule cakep dalam balutan jaket tebal. Lumayan penyegaran mata. Astaghfirullah!
Tak banyak bicara, kita semua diatas sini terdiam dalam harap. Sapuan doa yang menghapus awan. Seiring mentari semakin meninggi dan wow, barisan pucuk pucuk dunia menampakkkan diri meski malu malu. Semua saling menatap dan tersenyum. Meski tak terbuka dengan sempurna, saya cukup bersyukur diberikan kesempatan menatap keindahan itu.
Tak ingin Najin dan Mbak Anri menunggu lama, Saya akhirnya turun dari menara pandang. Bercengkrama sebentar dan tentu saja mengambil pemadangan dalam lensa kamera.
Sebelum balik ke mobil, kami menikmati berapa jajanan disini. Ada penjual mie, jajanan, makanan teh hangat dan lain lain yang lokasinya berdekatan dengan tempat parkir
Setelah masuk mobil, kami langsung pulang. Saya tanyakan ke pak sopir, dimana mbak yang tadi? Dia bilang klo dia bakalan jalan sehat dan kembali ke hotel dengan jalan kaki. Keren! dari si mbak bule saya terinspirasi melakukkan hal yang sama, meski sering jalan kaki ketika jalan, niatkan juga pagi hari untuk olah raga jalan pagi sambil jelajah tempat. Semangat!
Kembali ke hotel, kami siap siap packing menuju ke Kathmandu. Kami tak sabar menunggu banyak kejutan perjalanan jelajah kota tua Kathmandu. Meninggalkan Nagarkot rasa sedih atau kecewa kami hempaskan, kami membesarkan hati bahwa kami akan kembali suatu hari nanti. Semoga!