Kawasan yang menjadi jantung wisata kota Dharamsala ini mengingatkan saya akan nuansa Kuta, Bali
Dahulunya kota Dharamsala berada dibawah kepemimpinan Dinasti Katoch yang menguasai sebagian besar Distric Kangra. Dinasti ini dipercaya sebagai dinasti tertua di dunia. Di Era kolonialisme Ingris Dharamsala dijadikan sebagai SummerCapital. Kota ini menjadi sorotan dunia ketika dijadikan tempat pengungsian Dalai Lama ke 14 yang bernama asli Tenzin Gyatso pada tanggal 29 April 1959. Dan pada bulan mei 1960 secara resmi dijadikan tempat administratif para pengungsi Tibet yang biasa disebut CTA (CentalTibetianAdministration). Sejak itulah kota Dharamsala dibanjiri para pengungsi Tibet hingga saat ini.
Setelah semalaman menempuh perjalanan dari kota Jammu. Tersesat di Pathankot dan Terserang Delhi Belly, Alhamdullilah akhirnya kami sampai di terminal kota Dhramasala ketika mentari pagi menyembulkan sinar bersemu orange dari balik baris pegunungan berselimut salju. Kabut tipis menyelimuti permadani hijau di kakinya. Sungai jernih mengalirkan glacier es menampakkan kemilau orange sang surya.Sejauh mata memandang yang terlihat hanyah rantai pegunungan dan perbukitan yang nampak sambung menyambung. Seolah membius diri yang masih duduk dalam bus tua kusam yang menampar nampar tubuh tatkala melewati jalanan berbatu.
Setelah melemaskan kaki dan punggung diterminal Dharamsala, dengan menggunakan taksi kami bergegas menuju hotel yang berada di kawasan McLeodganj atau biasa dikenal sebagai Uppersidekota Dharamsala.Jalanan menuju kawasan Mcleodganj meliuk dan menanjak tajam.
Dilangit langit jalan, menggantung bendera doa warna warni beraksara tibet. Melambai lambai tertiup angin. Tak hanya di langit jalanan, diatap rumah, diranting peopohan bahkan menjulur dari satu bukit ke bukit lainnya. Nan Juah disana baris pegunungan bertudung salju menyembul dari balik perbukitan.
Sampai di Kawasan Mcleodganj berderet hotel dan pertokoan yang menjual souvenir Khas tibet. Mulai baju, dekorasi rumah, buku hingga aksesoris.Restauran disini lebih banyak yang menjual makanan ala Eropa. Mudah sekali menemukan Pastry shop dan cake. Hotel di kawasan ini juga murah dengan pemandangan permadani perbukitan dengan sembulan gunung tandus berjubah salju.
Wanita Tibet dengan baju panjang dengan design mirip celemek bergaris horizontal berjalan kesana kemari. Sebagian merajut kaos kaki dan sweater untuk dijual dilapaknya di jalanan Mcleodganj.Kebanyakan penduduk Tibet disini begitu religius, tangan mereka menggegem tasbih doa.
Kawasan dengan jalanan yang terlalu lebar ini dipenuhi dengan turis mancanegara. Mengingatkan saya akan nuansa kawasan Kuta, Bali. Turis bergaya Hippi hingga yang memakai jubah ala Biksu Dalai Lama ada semua. Mereka tak sekedar travelling lalu pergi, kebanyakan dari mereka sudah tinggal berbulan bulan disini. Sekedar untuk menikmati kedamaian yang ditawarkan atau mempelajari lebih dalam tentang agama Budha.
Tak hanya wisatawan. Biksu Budha dari seluruh dunia datang kesini untuk bertemu biksu suci Dalai Lama.Mulai dari negeri Timur Mongolia sampai dari dataran Eropa. Tak hanya bertemu, mereka juga belajar tentang agama Budha dan kedamaian hidup. Jangan heran, jika sepanjang jalan kawasan ini banyak sekali Biksu pria atau wanita mengenakan jubah warna merah marun ala Dalai Lama.
Sepanjang jalan banyak penjual momos. Dumpling ala masyarakat Nepal dan Tibet yang berisi sayuran. Disajikan hangat dalam piring kecil kemudian dicocol dengan sambal merah. Rasanya mirip dengan siomai bakso.
Monastri dengan stupa warna keemasan berdiri menawan ditengah kota. Menebarkan kedamaian dalam alunan Doa panjang dari dalam. Para peziarah berjalan dengan khusyuk mengelilingi kuil.Sementara tangan kanannya menggelindinkan silinder doa beraksa tibet. Suara Silinder Doa ini membawa kedamaian diantara keramaian kawasan Mcleodganj.
Setelah besantai sejenak di hotel. Kami lanjutkan tapak kaki menuju museum Tibet. Menyimpan seluruh bukti sejarah perjalanan panjang Dalai lama dan pengikutnya. Mereka berjalan melewati ganasnya pegunungan Himalaya yang dingin dan beku dari Tibet menuju pengungsian di India.
Nuansa politik dan ketegangan antara China dan Tibet tercium dari balik museum. Museum ini menyimpan seluruh benda yang mereka bawa termasuk pisau dan tombak. Bahkan sebuah baju kuno yang penuh cipratan darah.
Disalah satu ruangan kami disuguhi video perjuangan panjang rakyat Tibet untuk berdiri sendiri menjadi sebuah negara. Adegan mengerikan dan penuh isak tangis mendominasi. Diselingi panorama keindahan kota Lhasa dan seluruh Tibet. Lumayan bikin dada saya terasa sesak.
Letak museum ini bersebelahan dengan tempat tinggal Dalai lama dan juga monastery. Nampak beberapa asrama bertingkat yang digunakan sebagai tempat tinggal para Biksu yang sedang mempelajari Agama Budha lebih dalam. Untuk masuk kedalam tempat tinggal Dalai lama dan Monastry, pengunjung tidak diperkenankan membawa kamera dan handphone. Melewati penjagaan yang lumayan ketat.
Menjelajah kawasan Mcleodganj dengan berjalan kaki, kita bisa melihat Kampung kampung Tibet menyebar di seluruh kawasan. Gapura berwarna biru dengan stupa warna kuning keemasan diatasnya menyambut kedatangan para tamu. Aksara Tibet lebih mendominasi ketimbang aksara bahasa Sansekerta yang biasa digunakan di India. Satu hal yang mengingkat diri ini masih menjejak negeri Mahabharata yakni lengggak lenggok sapi yang turut meramaikan jalanan.