Perjalanan menuju kampung halaman kali ini menguras sisi emotional terdalam di lubuk hati. Setelah meninggalkan kotaHyderabad dengan sesak mendalam tanpa ditemani Shah Jahan. Meluangkan waktu mecicip kehidupan moderndalam belantara hutan beton Singapura. Dan saat ini, berdiri menatap deretan pesawat terparkir di Bandara Changi menanti kami melintas cakrawala menuju Surabaya.
Pagi itu, sinar mentari berbalut awan hitam mengayomi Bandara Changi. Titik air jatuh perlahan menyentuh tanah. Seolah melukis apa yang dirasa. Saat ini seharusnya hati ini dipenuhi dengan kebahagiaan melepas rindu yang menggunung dengan Ibu dan saudara tercinta. Tapi, entahlah.
Pesawat perlahan meninggalkan bandara Changi. Beberapa jenak, kami sudah tertidur lelap. Dan terbangun ketika roda pesawat menjejak bumi Surabaya. Alhamdullilah. Pesawat landing dengan aman di terminal 2 Juanda. Terminal lama yang dioperasikan kembali. Terminal yang membawa sejuta kenangan. Membuat perasaaan saya bertambah mellow berbungkus bahagia.
Berdiri memeluk Najin menatap puluhan Koperbergerak perlahan di area baggage claim. Terlihat air mata bahagia membasahi pipi seorang TKW yang segera berjumpa dengan buah hati tercinta. Setelah dua tahun ditinggalkannya. Perasaaan saya bercampur aduk nggak karuan. Mengingat sosok lelaki yang selalu merindukanku dan tak lagi menanti kedatangaku di Bandara, Ayah.
Keluar Bandara tak ada siapapun menanti. Dulu, Ayah selalu berdiri dengan senyuman melihat kedatanganku. Tak pernah terlambat menjemputku. Bahagai melihatku pulang ke tanah air. Senang dan Bangga karena perjalananku menjelajah Bumi Allah berjalan lancar. Dari Ayahlah saya belajar mencintai sebuah perjalanan. Tertawa dan tetap tersenyum dalam setiap suasana.
Tapi, dibandara inilah kekhawatiran dan kesedihannya memuncak. Untain doa tersirat dalam diam ketika saya berpamitan melangkahkan kaki meninggalkan negeri ini demi menggapai mimpi. Putri kesayanganya mengintip dunia sendirian. Puncak kesedihannya terasa ketika melepaskan saya berangkat ke India dan menetap disana bersama suami.
Ketika menunggu kedatangan Ibu dan kakak yang menjemputku, justru disetiap sudut bandara Juanda saya melihat ayah dimana mana. Sejak meninggalkan bandara Hyderabad, air mata yang kuseka tumpah sudah. Astaghfirullah. Saya hanya berdiri di ujung tiang. Sementara Najin hanya diam menatap dan menanyakan kapan Mbah uti nya datang.
Lama menanti sosok yang saya nanti tak kunjung tiba. Sebaliknya, Ayah tak pernah terlambat menjemputku di bandara. Ah, galau bergaris kebahagian semakin terasa. Akhirnya saya beranikan diri menghampiri seorang lelaki tambun berkaos putih yang sedang sibuk bermain dengan handphonenya.
“Mas permisi. Maaf sebelumnya, boleh nggak saya pinjam handphonenya untuk menelpon kakak saya”
“Monggo Bu, Silahkan”
Hadew, saya dipanggil Bu, disitu saya merasa tak lagi muda. Sementara ketika keliling Singapura saya dikira Mak cik dari Malaysia.
Ternyata, kakak masih dalam perjalanan menuju bandara lama, karena sebelumnya mereka berada di bandara yang baru. Setelah menelpon saya segera mengembalikan Telpon ke Mas yang baik hati tadi.
“terima kasih banyak Mas”
“Sama sama. Bu, kalau mau telpon lagi nggak papa”
“Terima kasih banyak Mas, sudah cukup”
“Saya tetap berdiri disitu ya bu, kalau ada perlu lagi, monggo silahkan”
Subhanallah, Baik sekali. Dalam perjalanan selalu ada Malaikat tak bersayap.
Lama menunggu kakak tak kunjung tiba. Tetiba mas tambun tadi bergegas mendatangi saya. “Bu, dapat telpon dari kakaknya” Ternyata kakak sudah sampai di depan bandara lama dan melambaikan tangan. Kebahagian tak terkira ketika seluruh keluarga menyambut kedatangan kami. Pastinya, Ayah juga tersenyum “disana”.
Setelah peluk dan ketjup, mereka menebar sederet pertanyaan yang cukup membuat saya "lelah".
“Kamu gendut sekali”
“Kamu hamil kah? Alhamdullilah”
“Makan apa aja kamu selama di India sampai gendut begitu”
“Badanmu semakin bulat”
Ternyata nggak ada yang tanya, apakah saya baik baik saja. Sibuk menatap nanar badan saya yang tak lagi langsing. Disitu saya merasa orang tergendut di dunia.
Kami bergegas memasuki mobil. Didalam mobil, Ibu menyodorkan Nasi Krawu bungkus. Makanan Khas Gresik kesukaan saya dan si Kecil. Terdiri atas suwiran daging, serundeng dan sambal padat yang super pedes. Daripada jawab pertanyaan kenapa saya bertambah gendut. Mending melahap dua bungkus Nasi Krawu. Huah, sedapnya….
Alhamdullilah, menghirup udara bumi Indonesia.