Klenteng yang berdiri sejak abad 18 ini masuk dalam bangunan cagar budaya kota Surabaya
“Motornya diparkir sebelah sini saja mbak” ucap si bapak beretnis tionghoa yang sedari tadi duduk santai di depan klenteng.
“Disini, pak? “ jawab saya dengan sedikit mengernyitkan dahi, karena motor saya tepat berada di sebelah patung berbentuk menyerupai hewan yang berdiri tegak di depan klenteng.
“Ya, nggak apa apa mbak” sambil menyunggingkan senyuman, saya bergegas memarkir si Revo yang sebelumnya menghantarkan hidung ini menghirup aroma cengkeh di House of Sampoerna.
Mungkin di hari itu hidung mancung saya tertawa bahagia atau mungkin sewot dengan si hati yang menentukan destinasi perjalanan jelajah Surabaya. Gimana tidak, setelah hidung saya dibombardir dengan arome cengkeh di House of Sampoerna, selanjutnya dijejali dengan aroma Hio (dupa) di Klenteng Hok An Kiong. Apalagi letak keduanya berdekatan, berjarak sekitar 2 KM saja.
Saat datang kemari, saya satu satunya turis kece dan berhijab pula. Jamaah datang satu persatu dengan dengan menyalakan hio, saya justru menyalakan kamera. Ketika jamaah mengepalkan tangan memberikan salam kepada dua patung berdiri gagah dikedua pintu masuk, tangan saya justru sibuk membidikkan kamera.
Seperti klenteng lain pada umumnya, nuansa merah mendominasi. Sebuah pintu berbingkai aksara China berwarna keemasan dengan sebuah ornamen cantik menggantung diatasnya. Patung Oe Tie Keong dan Cin Siok Poo berdiri dikanan dan kiri pintu seolah menjaga pintu masuk. Diatasnya menggantung deretan lampion.
Klenteng Hok An Kiong merupakan salah satu kelenteng tertua di Surabaya, dibangun pada tahun 1830. Awalnya, bangunan kelenteng ini berwujud bangunan darurat yang merupakan tempat penampungan kaum perantau untuk para awak kapal dari Tionghoa yang selamat ketika mendarat di pulau Jawa. Pembangunan Klenteng ini dilakukan langsung oleh insinyur dari Tiongkok. Keunikan dari dari bangunan ini adalah sama sekali tidak menggunakan paku dari logam, tapi memakai potongan bambu yang diruncingkan.
![]() |
Altar Dewan Kwan in 8 tangan |
Masuk kedalamnya terdapat sebuah Altar. Diatasnya terdapat tempat menyalakan hio yang terbuat dari kuningan yang diapit dua buah lampu minyak berbentuk lotus. Buah buahan tertata rapi diatas piring. Menyala deretan lilin lilin cantik berwarna merah berukuran jumbo. Sebuah kertas uang berbentuk bunga berlatar belakang jajaran patung Para Dewa Dewi.
Ini adalah Altar Dewi Thian Siang sing Boo atau Maco. Disini ada Patung Budha. Puluhan Patung Dewi Kwan In berwarna putih. Dan yang membuat saya terkaget adalah Patung Dewi kwan In tapi dengan 8 tangan. Mengingatkan saya akan patung salah satu Dewi di India. Kalau nggak salah Dewi Durga, mungkin juga Dewi kali. Ah, saya lupa.
Sejenak saya mengamati dinding yang berlapis keramik yang dipenuhi dengan lukisan. Keramik ini dipesan secara khusus. Karena lukisan tersebut mengandung unsur sebuah cerita. Nampak elok menghiasi dinding.
Saya kemudian melangkahkan kaki menuju ke bagian belakang. Disana terdapat Altar Dewa Kwan Kong. Mata saya tertumbuk dengan tumpukan kotak kado penuh warna ditempeli dengan aksara China. Pikir saya mungkin ada hajatan di klenteng ini. Tetiba seorang wanita yang sedari tadi beribadah menyapa saya
“Dari mana mbak?” tanyanya dengan ramah
“Oh, dari Gresik Bu?”
“Mbak ada perlu apa foto foto””
“Hmmm, saya suka jalan jalan dan foto foto bu, dan suka nulis perjalanan juga. Ini lagi hunting bangunan cagar budaya di Surabaya dan kelenteng Hok An Kiong salah satunya”.
![]() |
Kertas Uang dibentuk meneyerupai bunga dan kemudian dibakar |
Sesaat kemudian seorang lelaki (mungkin suami si ibu) membakar kertas uang yang dilipat dengan seni origami hingga membentuk menyerupai bunga.
“Oh ya, maaf kalau boleh tahu, kenapa kertas kertas dalam bentuk bunga itu dibakar ya bu ?” tanya saya dengan segala keinginan tahunan.
“Oh, kertas itu sama dengan Uang” jadi masyarakat Tionghoa yang mempercayai tradisi ini beranggapan bahwa dengan membakar kertas emas dan perak itu berarti mereka telah memberikan kepingan uang emas dan uang perak kepada para dewa atau leluhur mereka; sebagaimana diketahui kepingan emas dan perak adalah mata uang yang berlaku pada zaman Tiongkok kuno.
![]() |
Tumpukan kotak "kado" didalam klenteng |
“Trus kotak kotak kado itu untuk acara apa, ya ?”
“Pada bulan 7 Penanggalan Lunar atau Imlek, Orang Tionghoa percaya bahwa pada saat itu pintu neraka dibuka, semua roh dilepas ke dunia untuk mencari makan. Untuk meringankan beban roh leluhur, mereka mengadakan sembahyang, menyajikan makanan dan memberikan pakaian, sepatu serta perlengkapan lainnya kedalam kotak kado itu dan ditujukan kepada leluhur juga pada roh roh yang gentayangan”.
Saya hanya manggut manggut mendengar penjelasan. Lumayan, menambah wawasan tentang kebudayaan etnis lain. Agar kita bisa saling menghormati dan tercipta keharmonisan hidup. Hehehe berasa jadi Dalai Lama. Saya kemudian berjalan menuju kesamping, tempat si bapak membuang kertas uang yang dibakar tadi. Duh, Mata saya langsung nangis, pedih terkena asap.
![]() |
Tempat pembakaran |
Setelah puas melihat sudut klenteng tua ini saya bergegas menuju motor saya. Seorang ibu mendekati saya dan mengajukan pertanyaan yang sama “Untuk apa mbak foto foto? “. Saya menjawab sama dengan yang tadi. Si Ibu kemudian menjelaskan bahwa klenteng ini ada sebelum beliau lahir. Beliau juga menjelaskan bahwa di Surabaya masih banyak Klenteng Klenteng Tua dan beliau menyebutkan sejumlah tempat. Hmmm, kayaknya saya harus melanjutkan penelusuran ini.