Alam tak pernah berhenti menyuguhkan keindahannya meski manusia mengexploitasinya
Cinta bertepuk sebelah tangan. Istilah ini tepat sekali menggambarkan antara Alam dan Manusia. Betapa besar nafsu manusia mengexploitasi keindahannya. Alam tak pernah berhenti mencintai manusia. Terus memenuhi kebutuhan pun tak berhenti menebar keindahan meski tangan kita telah merusaknya.
Ibarat seorang gadis perawan ditangan lelaki pengeruk nafsu. Direbut keperawanannya. Dan diperdagangankan untuk mengeruk pundi pundi uang. Sang Gadis tak pernah membantah dan menjalani apa yang sudah ia sebut sebagai ‘nasib’. Bahkan terus memberikan kenyamanan dan kepuasan kepada lelaki yang dicintainya. Meski hancur, sang gadis terus memberikan senyum manis dan melayani dengan sebaik baiknya. Berharap suatu saat lelaki itu suatu saat memberikan cinta yang sama kepadanya.
Alam dicipta untuk kebutuhan manusia. Kita memanfaatkannya. Sudah tugas kita menjaga dan melestarikannya. Tapi tak semudah berkata, ketika dollar dihadapan mata. Alam terus dikeruk dan diambil manfaatnya kemudian ditinggalkan begitu saja. Menyisakan tanah gersang, lubang menganga. Meski tak terurus, seiring berjalannya waktu, alam menebar keindahannya lagi.
Tak hanya di Belitung yang memiliki danau besar dan Indah akibat aktifitas penambangan bertahun tahun. Di beberapa tempat di Indonesia, lahan lahan sisa penambangan menjelma menjadi tempat wisata. Salah satunya Phutuk Krebet yang berada di Bukit Phutuk Krebet, Desa Panggunguni, Kecamatan Pucanglabang, Kabupaten Tulung Agung. Berbatasan dengan kanupaten Blitar. Sisa galian tambang timah yang membentuk sebuah lubang yang dalam dan menjadi tadah air hujan. Bertahun tahun diterpa hujan terus menerus kemudian bermertamorfosis menjadi danau yang menyuguhkan warna air yang tak biasa.
Ada yang berwarna biru tosca, mengingatkan saya akan telaga warna Dieng. Ada yang hijau sekali seperti lumut. Dan lainnya berwarna hijau kehitaman, juga mengingatkan saya akan telaga warna yang dilihat dari sisi lainnya. Perbedaan warna ini diakibatkan kandungan sulfur atau bahan kimiawi alami yang dihasilkan oleh lahan tambang.
Lebar danau pun tergantung musim. Kalau musim hujan, danau lebar sekali. Sedangkan musim kemarau danau menjadi lebih kecil, tapi lebih bening. Waktu saya datang kemari bertepatan dengan musim kemarau panjang, jadi danau mengecil. Sebagian danau dikelilingi tebing tebing batu vertical berwarna kecoklatan berdegradasi putih. Nampak begitu kontras dengan warna danau.
Phutuk Krebetbukan satu satunya wisata tambang yang saya kunjungi. Sudah empat kali ini saya bertandang ke tempat wisata yang notabene adalah bekas galian tambang. Pertama kali ketika saya mengunjungi Bukit Kapur yang berada di Sumenep, Madura. Yang kedua di Bukit Jamur, Gresik, Jawa Timur dan yang kedua Asolla Bhatti Lake yang berada di Delhi, India.
Perjalanan melihat warna warni danau di Phutuk Krebet ini adalah ‘bonus’ wisata Kedung Tumpang. Kebetulan letaknya berdekatan. Saya pergi kesana bersama Agus. Teman mbolangdengan motor dulu yang kini sibuk dengan open tripnya. Dalam perjalanan ini saya mengikuti salah satu open tripnya.
Jadilah saya pergi bareng bersama teman teman baru lainnya. Nah, sampai di Kedung Tumpang, ketambahan salah satu teman Agus lagi yang sedang jalan jalan bersama putranya, umurnya sekitar 8 tahun. Saya lupa nama si mbak dan anaknya. Setelah dari Kedung Tumpang, kami bersama sama mengunjungi Phutuk Krebet.
Mendekati area lahan pertambangan, panas terasa. Kering dan gersang. Rumah penduduk juga jarang jarang. Pohon kelapa dan jajaran pohon Jati mendominasi. Tanah berdebu dengan tekstur berbatu. Berwarna putih kecoklatan. Dipenuhi dengan batuan kerikil. Jalan harus berhati hati, salah langkah bisa terpeleset. Bisa bisa masuk danau, karena danau ini tanpa pagar pengaman.
Seperti kebanyakan lahan pertambangan lainnya, dimana ada lubang menganga dan dikelilingi timbunan tanah hinga membentuk gundukan. Nah, gundukan tanah galian ini berbentuk kerucut nampak bagaikan bukit kecil.
![]() |
Si anak yang nekat menuju puncak Bukit sendiri |
![]() |
Pohon jati disekitar Phutuk Krebet |
Putranya si Mbak ini aktif sekali. Tiba tiba lari, naik bukit sendirian. Hilang. Eh, tiba tiba mendekati sudah berada di bibir Danau. Nekad, tanpa rasa takut sama sekali. Saya yang sibuk membidikkan foto jadi khawatir sendiri. Karena tekstur tanah berkerikil, mudah terpeleset. Bagaimana kalau jatuh dan masuk danau. Jadilah, saya sering teriak teriak untuk mengingatkan si kecil tidak terlalu dekat.
Untung saja, selain sehat, aktif, anak si mbak ini memakai sandal gunung, jadi cengkaraman sandal lebih kuat dan tidak mudah terpeleset. Tapi tetep harus hati hati. Melihatnya yang terus berlari kesana kemari saya jadi teringat Najin dirumah, sama aktifnya. Kalau diajak jalan jalan pasti lari kesana kemari.
Tips dari saya kalau datang ke Phutuk Krebet yakni pakai sandal gunung yang kuat. Jangan lupa oleskan sunblok ke wajah, meski dikelilingi hutan jati tapi lahan tambang terasa panas dan terik. Gunakan kaca mata hitam biar nggak silau. Pakai masker kalau tidak tahan dengan debu. Trus minum yang banyak juga untuk menghindari dehidrasi. Lagian, di areal pertambangan tidak ada penjual makanan dan minuman.
Selesai mengunjungi Phutuk Krebet, terbesit dalam hati saya. Betapa alam tak pernah berhenti menebar keindahan meski kita telah menjamah dan merusaknya. Tak hanya cinta sesaat yang cukup mencitai diri kita saja, Kelak alam juga memberikan cinta yang sama kepada anak cucu kita. Ada baiknya kita memberikan cinta yang sama kepada Alam. #selfreminder