Ikon gedung berhantu ini tak lagi menyeramkan justru mengundang detak kagum dengan design arsitekturnya.
Para pecinta dunia lain pasti sudah tahu sederet cerita menyeramkan tentang gedung tua yang berada di Kota Semarang ini. Cerita tentang penyiksaan para tawanan yang bikin bulu kuduk berdiri hingga sejumlah penampakan yang bikin peserta uji nyali melambaikan tangan didepan kamera. Seiring berjalannya waktu, deretan jendela penghias dindingnya menjadi daya tarik yang telah melahap aura mistik yang pernah ada.
Kami (saya dan tarie) datang ke lawang Sewu ketika sang raja siang berada tepat di ubun ubun, panasnya sangat cetar. Sebelumnya kami sempatkan berkunjung ke Klenteng tua dan terbesar di Semarang,Klenteng Tay Kak Sie. Begitu panasnya kota Semarang, dalam jarak dekat terlihat gemulai air menari menari diatas jalanan, efek fatamorgana. Memaksa sang mata terlindungi olehkacamata hitam agar tidak terlalu silau.
Wong Jowo pasti ngertilah, yoneklawang Sewu itu artinya Seribu pintu. Tapi Penamaan Lawang Sewu hanyalah visualisasi dari penampakan dari design yang ada. Apa benar “pintu” nya berjumlah Seribu? Ternyata tidak. Demikian pula dengan design jendela yang tinggi dan lebar justru dianggap sebagai Pintu.
Sampai di depan Lawang Sewu berjajar para penjual makanan dan minuman. Bangunan tua berlantai dua yang dibangun oleh kompeni Belanda pada tahun 1904 ini nampak megah dan terawat. Dua buah menara berada di sisi depan bangunan. Dilengkapi dengan jendela balkoni dan dimahkotai kubah berwarna merah bata.
Sebuah pos kecil bediri disebelah kanan. Disebelah kiri bangunan utama Lawang Sewu yang menggiring mata menatap lengkung lengkung jendela berwarna putih. Lengkung jendela ini memiliki kombinasi warna yang cantik yang menghadirkan nuansa sederhana tapi elegen. Bagian bawah dilapisi dengan tegel keramik warna kuning dengan kombinasi palet warna abu abu.
Pintu masuk komplek Lawang Sewu berada di Bagian Belakang. Pengecekan tiket berada tepat di bawah “jembatan” yang menghubungkan gedung utama dan toilet. Meski tergolong tua, toilet lawang sewu berfungsi dengan baik dengan gaya Eropa. Sejenak saya meninggalkan “jejak” disini.
Komplek lawang sewu terdiri atas lima bangunan. Ditengahnya sebuah pelataran luas dengan pohon Mangga besar ditengahnya. Bangunan utama gedung A berbentuk L yang nampak dari depan. Berhadapan dengan gedung B berlantai dua yang bersebelahan dengan kereta mini. Gedung C, berupa bangunan kecil lebih mirip dengan sebuah rumah. Gedung D berada di belakang Gedung C. sedangkan Gedung E berdampingan dengan gedung A dan B.
Kami memasuki gedung C terlebih dahulu yang nampak seperti sebuah rumah kecil. Didalamnya menyimpan berbagai koleksi foto dan denah komplek lawang Sewu. Dari foto foto yang menghiasi dinding, kita bisa melihat bawah gedung lawang sewu mengalami tahap konservasi dan revitalisasi yang dilakukan oleh Unit Pelestarian benda dan bangunan bersejarah PT Kereta Api Persero.
NIS (Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappi)sebutan bagi pemerintahan Hindia Belanda mempercayakan rancangan gedung kantor pusat NIS di Semarang kepada Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan B.J. Quendag. Arsitek yang berdomisili di Amsterdam. Seluruh proses perancangan dilakukan di Belanda. Baru kemudian gambar-gambar dibawa ke Kota Semarang.
Melihat dari cetak biru Lawang Sewu tertulis bahwa site plan dan denah bangunan ini telah digambar di Amsterdam pada tahun 1903. Begitu pula kelengkapan gambar kerjanya dibuat dan ditandatangani di Amsterdam tahun 1903. setelah kemerdekaan gedung Lawang Sewu dipakai sebagai kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau sekarang PT. Kereta Api Indonesia.
Berkeliling menatap garis garis design arsitektur, sejenak mata Saya tertumbuk dengan aneka bahan yang dimasukkan dalam gelas dalam sebuah boxkaca. Heran, kenapa ada bumbu masak disini? Hehehe. Ada cengkeh, spirtus, gasoline, ethil, dan masih banyak bahan bahan lainnya hingga pelepah pisang. Ternyata bahan bahan disini adalah formula khusus yang digunakan untuk membangun gedung lawang sewu agar kuat dan tetep awet. Jenius amat!
Kami kemudian bejalan menuju gedung utama yang kini digunakan sebagai museum kereta Api sekaligus tempat narsis. Jajaran Jendela seukuran pintu berwarna hitam nampak berjajar cantik di bagian depan. Didalamnya terdapat beberapa foto foto masa lampau, miniatur kereta hingga video tempoe Doloe.
Kami naik ke lantai dua. Disana terdapat jendela kaca dengan gambar warna warni. Jendela yang melambang kebesaran kerajaan Belanda. Mozaik Jendela seperti ini mengingatkan saya akan jendelan Gereja tua di Kota Shimla, India. Hanya saja gambarnya menggambarkan kebaikan yang diajarkan agama Kristen.
Kami beranjak ke bagian lainnya di gedung A. Bagian dasar bangunan ini terdapat lorong bawah tanah. Ruang yang menyimpan sejuta kisah pedih penyiksaan tawanan. Ruangan yang digenangi air saat ini tertutup untuk umum. Ruangan tempat berpesta para penunggu dunia lain. Hehehe. Cobalah untuk mendekat kepintunya yang tertutup, hembusan aura mistik yang bikin bulu kuduk berdiri.
Jika dibawahnya dipeuhi aura mistik, diatasnya malah jadi aura kasih, maksudnya aura forografi. Mulai anak anak sekolah, anak gaul sampai emak emak sosialita, antri foto di deretan jendela lawang sewu yang memang instragramable ini. Dalam ruangannya nampak seperti sebuh lorong ruangan dengan bingkai sekat sekat pintu.
Kami melepir ke sisi lain yang berdekatan dengan lahan kosong. Lahan ini nampak tak terawat, ilalang meninggi ditemani rimbun pohon gori. Buahnya digunakan sebagai bahan untuk membuat lentog, gori ini nangka muda.
Kami kemudian menuju keujung gedung. Sepi, tak banyak yang menjejakkan kaki disini. Ada lantai dengan kemiringan tajam menuju lantai 3. Saya naik keatas, sebuah lantai yang beratapkan genting secara langsung. Dibingkai dengan jendela jendela kecil. Maksud hati menuju ujung ruangan, tetiba bulu kuduk saya berdiri. Perasan mulai menjadi jadi, saya bergegas meninggalkan ruangan ini.
Jika diperhatikan gedung lawang sewu ini dipenuhi dengan jendela besar. Mulai lantai satu hingga lantai tiga. Hal ini dimaksudkan untuk sirkulasi udara sekaligus membawa angin segar dalam ruangan. Karena bagi bangsa Belanda iklim Indonesia terlalu panas. Bukan hanya lawang Sewu, seluruh bangunan yang dibangun zaman Belanda dipenuhi dengan jedela besar. Hal ini bisa kita lihat di kawasan kota lama Semarang.
Puas berkeliling dan nampang pose kece di setiap sudutnya. Kami bersantai disalah satu taman berdampingan dengan miniatur kereta api. Apakah dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang datang dapat menggusur penghuni “utama” lawang sewu? Entahlah. Coba tanya sendiri sama “mereka”. Dan… malam hari kami kembali ke lawang Sewu. Mau tahu ceritanya? Tungguin ya….