Perjalanan darat menuju pulau menjangan menawarkan sebuah aksen panorama keindahan alam khas bumi pertiwi yang dikelilingi gunung merapi.
Menghirup udara di negeri Mahabharata terlalu lama membuat paru paru saya protes, memaksa badan saya “berbikini” diatas pasir putih yang lembut dan berenang ala putri duyung bersama nemo dalam surga bawah laut nusantara. Pucuk dicinta ulam pun tiba, sahabat Blogger mengajak ketemuan sekalian piknik bareng ke pulau Menjangan setibanya saya di tanah air. Maklumlah selama ini kami hanya bersapa manja didunia maya, karena kami tinggal di kota bahkan negara yang berbeda pula.
Persiapan mulai booking hotel, beli tiket hingga pemilihan operator tour sudah kami rancang jauh jauh hari. Mbak rien, sang penguasa blog www.travelerien.com sudah booking Hotel Watu Dodol melalui Agoda. Tarie pemilik blog www.jejaksematawayang.com sudah membeli tiket kereta api buat saya dan Mbak Ira (keluargapelancong.net). Tiket kereta api Mutiara Timur dari stasiun Gubeng, Surabaya menuju stasiun kota Banyuwangi, sedangkan Mbak Rien memilih melewati jalur udara.
Fyi, Perjalanan menuju pulau Menjangan bisa di akses melalui dua pelabuhan. Yakni Pelabuhan Banyuwedang di Bali dan melalui pantai Watudodol yang berada diujung Banyuwangi. Demi sang waktu yang tak akan pernah kembali, kami ke Pulau Menjangan melalui Banyuwangi, tanpa menyeberang ke Bali.
Pagi pagi saya berangkat dari rumah di Gresik bersama Tarie dengan menunggang kuda besi Si Revo Sahabat perjalanan. Di stasiun Gubeng kami bertemu Mbak Andrie (www.andripotlot.com), semalaman beliau mengarungi perjalanan darat dari kota Bandung. Setelah cipika cipiki dan ngobrol ngalorngidul tetiba pluit kereta api memanggil kami untuk segera bergegas masuk dalam gerbong kereta.
Dalam gerbong kereta dipenuhi para remaja dengan ransel gede dan kece di punggung mereka, mengundang senyum dibibir saya yang seksi sebab teringat akan masa lalu. Masa dimana otak saya dijejali dengan sebuah impian menjejakkan kaki di negeri negeri asing. Masa dimana saya lebih suka duduk berjam jam bahkan berhari hari dalam kereta dan bus ketimbang nonton bersama pacar di akhir pekan. Masa dimana saya hati selalu diselimuti angan bersama dia yang berada di belahan bumi utara. Uhuk.
Roda bergerak meninggalkan kota Surabaya yang padat. Pemandangan yang tak jauh berdeba pula ketika memasuki kota Sidoarjo. Perlahan nuansa hijau menghampiri ketika memasuki kabupaten Pasuruan, padi menguning melambai lambai diterpa angin dalam sebuah hamparan yang luas. Terkotak kotak oleh aliran air yang segar. Sebuah kayu disilangkan dimahkotai sebuah capil dan berbalut tas plastik warna warni berdiri mengamati sawah. Orang orangan yang membuat sang burung pergi menjauh.
Memasuki kota Probolinggo, pemandangan negeri khatulistiwa yang dianugerahi deretan gunung merapi tersaji dengan ciamik. Lekuk pegunungan berapi di sisi kanan dan kiri seolah berlari mengejar kami. Berdiri gagah memberi senyuman. Kadang nampak ramah terkadang menebar amarah. Tak hanya padi sang setia tunduk di kakinya, gubis, bawang dan kembang kol juga selalu setia menanti pupuk alami berupa aliran air jernih dan tanah gembur. Pemandangan yang menawarkan kedamaian ini membuat mata kami terlelap.
Mendekati kota Jember mata kami dipaksa terbuka menanti kedatangan mbak Ira. Kami berempat duduk berhadap hadapan, cerita banyak hal mulai dari keluarga hingga negara. Pecicilan dan cekikikan. Perjalanan yang seolah memberitakan kepada dunia bahwa perjalanan tak mengenal usia. Jadi ibu nggak melulu tentang daster batik kegedean dan memasak di dapur, terkadang kami bisa menjadi pejalan tangguh memanggul ransel, bercelana cargo dan tersesat dalam budaya yang berbeda. Perjalanan seperti inilah yang selalu mengendap jauh dalam ceruk hati meski sang panas kerap membungkus pantat bahenolku.
Entah sudah berapa banyak lekuk gunung tersaji seperti Bromo, Ijen, Gumintir bahkan gunung Raung yang saat itu sedang memuntahkan amarah. Kemarahan gunung Raung ini setiap saat bisa saja menggagalkan rencana piknik bersama. Sisa sisa abu gunung Raung melapisi daun tembakau dan kopi yang banyak sekali kita temui di kabupaten Jember. Pohon kelapa menemani sepanjang perjalanan, keindahan anugerah yang maha kuasa memanjakan mata. Tak ingin sama sekali mengabadikan dalam lensa kamera. Mata saya tidak ingin diganggung kotak hitam. Saya ingin benar benar menikmatinya. Waktu tidak akan pernah kembali, biarlah hati ini merekam apa yang dirasa dan dilihat. Seperti hanya kamu yang tak lagi menguasai hati ini. Uhuk.
Dalam perjalanan saya menatap hamparan pohon kelapa berlatar belakang lekuk pegunungan Argopuro. Jauh dalam lubuk hati saya berkata, tunggu aku, semoga kelak saya bisa melangkahkan kaki dipuncak tertinggi pegunungan para Hyang. Berpeluh peluh menuju puncak istana Dewi Rengganis.
![]() |
Sarapan pagi bersama |
![]() |
Bahagia itu sederhana, kumpul bersama sahabat yang saling menyayangi dan saling support |
![]() |
Narsi ceria di Hotel Watu Dodol |
Sampai di stasiun kota Banyuwangi kami tidak langsung menuju hotel, kami sempatkan mampir sejenak ke pelabuhan ketapang. Karena letak keduanya juga sangat dekat. Banyak perubahan di Pelabuhan yang sering menghantarkan saya menuju Bali ini. Lebih bersih dan teratur. Tak seperti dulu kala yang nampak bagaikan pelabuhan horor yang siap menerkam. Saya tersenyum, mengingat perjalanan ber tahun yang lalu, duduk berjam jam dalam bus dan menanti penyeberangan. Kadang pada saat malam hari berteman hembusan angin kencang. Kadang mentari menyembul diantara lekuk perbukitan yang membungkus pulau Bali dan menatap gunung Ijen berdiri gagah diujung pulau Jawa.
Sampai di hotel Watu Dodol tempat kami menginap, kami semua bertemu dengan Mbak Rien, keriangan menggelora sekaligus kesedihan, gimana tidak, diantara mereka sayalah yang paling gendut *Menatapnanarperutbergelambir*. Hiks. Sore harinya kami habiskan dengan bercengkrama menatap pulau Bali ditemani semburat orange melapisi langit biru. Menanti esok hari yang membawa kami dalam surga bawah laut Pulau Menjangan.
![]() |
Snorkling lagi yuk...... |