Perjalanan menembus gelapnya malam justru mengajak ingatan menyusupi memori kehidupan yang pernah saya jalani selama bertahun tahun di negeri Hindustani
Malam itu mata ini susah terpejam. Ketika mata mulai beristirahat, tetiba jantung ini berdetak kencang membuat diri terbangun. Sementara si kecil tak bisa tidur sama sekali. Dia terlalu antusias dengan perjalanan kami menuju Propinsi terbesar di India, Rajasthan. Waktu menunjukkan pukul 2 malam, Shah Jahan sendiri sengaja tidak tidur.
Dua jam lagi, mobil dan supir yang kami sewa akan menjemput kami. Rencana semula, perjalanan akan kami jalani dengan membawa kendaraan sendiri. Kami ingin menikmati waktu, berhenti dimanapun hati meminta bersandar.
Tumpukan pekerjaan menjelang keberangkatan membuat kami mengubah rancana. Shah Jahan terlalu lelah. Untung saja, sopir langganan kami, Pak Aminuddin tidak terlalu sibuk. Beliau bersedia mengantarkan kami keliling Jaipur dan Jodphur, Overland.
Satu jam sebelum keberangkatan si kecil justru tertidur lelap. Saya dan Shah Jahan hanya tersenyum melihatnya. Bagus, pikir saya, biar si kecil tidur dalam mobil. Toh, dalam perjalanan malam tak banyak yang bisa kami pandangi. Saya bergegas mandi kembang tengah malam.
Mobil Pak Aminuddin menyorot terang dalam gerak dijendela kamar. Ransel dan koper masuk dalam bagasi mobil. Sementara Najin digendong Shah Jahan, masih tertidur lelap dalam balutan baju tidur, rambut acak acak an ditambah liur membasahi pipi. “Bismillah, semoga perjalanan lancar” Doa saya dalam hati.
Malam diujung usia ketika roda kendaraan membelah gelapnya malam kota Delhi menuju kota Jaipur, ibukota propinsi Rajasthan, India. Kemacetan diiringi suara klakson membabi buta terdiam dalam dekapan dingin sang malam. Keheningan jalan yang ditawarkan menjadi pilihan kami melipat waktu perjalanan.
Shah Jahan berbincang dengan pak Aminuddin di depan. Bertanya tentang kabar, disusul perbincangan tentang keluarga, ekonomi hingga politik di India. Mendengarkan perbincangan mereka tak ubahnya melihat sebuah wawancara di televisi. Bedanya, mereka berdua sama sama menjadi nara sumber. :)
Sementara dibelakang, Najin tertidur lelap menghamparkan kepalanya diatas pangkuan saya. Pilar penerang jalan nampak berlarian meninggalkan kendaraan. Beberapa mobil dan truk masih menyemarakkan jalanan.
Mata ini menatap jejalan besi beton apartemen bertingkat yang hanya diterangi lampu orange didepannya. Mengingatkan saya pertama kali menatap langit India. Rumah rumah nampak padat menyala dari balik jendela pesawat Malaysia airlines. Maskapai milik negara Malaysia ini menghantarkan kaki saja menjejak India pertama kali, Agustus 2004 tepat pukul 11 malam.
Datang dengan sejuta harapan dan impian menjadi seorang yang ahli dalam bidang teknologi Informasi. Yang Maha mencipta takdir berkehendak lain. Perkenalan, Jodoh dan menikah, semua seolah berjalan cepat. Gerbang kehidupan baru yang dipenuhi dengan cerita yang menguras emosi jiwa. Seperti judul film Kabhi Kushi Kabhi Ghum. Kini, hadir si kecil yang menyemarakkan kehidupan kami.
Semakin malam semakin senyap. Cerita perpolitikkan berakhir. Yang terdengar hanyalah lagu lagu jadul India yang diperdendangkan dari balik radio mobil. Lagu jadul ini menambah dalam rayapan memori kehidupan yang sudah saya jalani di India.
Saya tersenyum sekaligus mengumpat sedih. Lagu lagu itu tak asing bagi saya. Bukan hanya karena Shah Jahan mencintai lagu India jadul, juga ketika saya masih imut ayah sering “memaksa” gendang telinga bergetar karena lagu lagu tersebut.
Bisa dibilang nasib saya “lebih baik”, karena kakak perempuan saya malah sering diajak ayah menonton film India di bioskop. Sedangkan kami berdua tak terlalu demen dengan film atau lagu India. Nasib memang, takdir justru menjodohkan saya dengan lelaki India. Ye raat bheegi bheegi…..
Berbeda dengan turis atau traveller yang singgah sejenak, menetap di India berarti merasakan kehidupan nyata di India yang jauh dari gemerlap film nya. Menyaksikan India berkembang selaras dengan kekuatan penduduknya mempertahankan budayanya.
Bertahun tinggal, semakin lama sisi “eksotisme” India dimata nampak menjadi biasa. Lama menyusuri kenangan yang telah berlalu, otak terasa lelah yang membuat mata ini terpejam.
Rajasthan dan Kashmir adalah dua Propinsi yang ingin saya kunjungi kala menapakkan kaki di India pertama kali. Dua propinsi yang dianugerahi alam yang sangat berbeda yang tak bisa saya jumpai di negeri sendiri. Kashmir, dengan kemolekkan pegunungan Himalaya berselimut salju. Dan Rajasthan, negeri para Maharaja India yang perkasa memiliki padang pasir yang membentang hingga ke perbatasan Pakistan.
Mengunjungi Rajasthan, bagai membuka lembaran panjang kisah sejarah negri ini. Dimana raja raja Hindu berkuasa selama berabad lamanya. Menatap kegagahan mereka duduk diatas gajah, berkumis panjang, turban dikepala dengan sambutan meriah rakyatnya. Seperti di negeri dongeng.
Cerita para Maharaja berserta Istana dengan arsitektur Hindu dengan sentuhan mahakarya design khas Rajasthan selalu menjadi tempat yang ingin saya jelajahi. Kota berwarna merah muda. Berwarnanya baju para wanita dan juga pria. Seperti yang terlihat dalam video iklan sebuah kartu kredit yang diperankan oleh Richard Gere.
Dulu segalanya nampak begitu mengagumkan. Ketika keinginan telah terpenuhi, banyak hal telah dijelajahi bahkan merasakan sesak kehidupan semilyar penduduk, terkadang segalanya terasa menyesakkan. Bahkan ada hal hal yang terasa memuakkan.
Meski demikian pesona dan daya tarik negeri ini masih tersimpan cantik dalam hati. Masih menikmati gedekan kepala ketika berbicara. Beberapa tempat dibalik gunung bersalju dan gurun masih ingin saya jelajahi. Seperti halnya saya ingin menjelajahi seluru pelosok pulau negeri dimana saya dilahirkan.
Perjalanan ini memang menjadi begitu emosional. Perjalanan kami kali ini mungkin menjadi perjalanan terakhir bersama selama kami tinggal di India. Selanjutnya, perjalanan ke Kashmir dan Nepal, akan saya jalani sendiri bersama si kecil. Shah Jahan tak bisa menemani.
Perjalanan berlanjut pulang, menetap kehidupan baru di tanah air. Keputusan untuk kembali tinggal di Indonesia bukan menjadi hal mudah bagi kami, khususnya saya dan si kecil. Ada gunungan kegembiraan dan juga lautan kesedihan disana. Ahhhh, sudahlah….
Mata ini terbuka, tanah Rajasthan berpasir berkilau karena sinar mentari pagi. Gelapnya malam berteman kenangan kini berubah dengan pemandangan serak perbukitan tandus yang tampak sambung menyambung. 277 KM terlewati.
Senyum tersungging dari bibir, tak banyak yang berubah di propinsi ini, justru nampak semakin mengering. Rumah jarang jarang. Terkadang perkampungan padat menyapa.
Bebatuan cadas bertengger di perbukitan. Pepohonan perdu berwarna kecoklatan dengan ranting mengering. Dedaunan seolah enggan menyapa pepohonan di daerah ini. Air dan hujan menjadi hal yang begitu berharga.
Shah Jahan dan si kecil masih terlelap ketika Pak Aminuddin berhenti sejenak menikmati hangatnya chai. Kaca jendela disisi Shah Jahan terbuka setengahnya. Selebihnya semua kaca tertutup rapat. Saya duduk terdiam dalam mobil menatapi jalanan.
Sesaat kemudian datang seorang pemuda. Berkulit hitam, rambut tebal berkilau akibat terlalu banyak dipoles minyak, perut sedikit membuncit, mata yang tajam melirik ke Shah Jahan yang berada di depan. Menghentikan langkah di dekat baper depan mobil.
Pikir saya, dia mau mengambil sesuatu dalam mobil. Saya sudah bersiap berteriak. Tapi alangkah terkejutnya saya, ketika dengan entengnya dia membuka celana. Tangannya sibuk meraih tonjolan “benda padat” penghasil ribuan sperma menghantarkan urine tepat di depan mobil.
Saya buka jendela dan bertanya dengan senyuman manis “Kya karo aap”?. Tentu saja itu hanyalah hayalan konyol yang tak mungkin saya lakukan. Saya hanya bisa tersenyum memalingkan muka. Dan tertawa lepas ketika pemuda pergi. Di India melihat batang terpenting dalam kehidupan lelaki bisa dibilang makanan sehari hari. Mereka dengan seenaknya pipis sembarangan. Kata malu seolah pergi menjauh.
Pikiran mellow itu akhirnya berubah menjadi senyuman. Potongan kenangan akan hal hal konyol selama di India tetiba menghampiri. Mulai dicium sapi. Kaki nginjak teletong sapi. Pelototan mata orang orang desa menatap kecantikan saya hingga menyaksikan gaya klasik lelaki India dan masih banyak hal lainnya yang bikin saya ketawa guling guling. India oh India.
Geliat pagi kota Metropolitan Jaipur berpenduduk 4 juta jiwa menunjukkan pesonanya. Lelaki berpakaian tradisional putih mengenakan penutupan kepala warna warni yang dikenal dengan Turban. Wanitanya mengenakan rok dan baju pendek dengan warna ngejreng berjalan tersipu malu, menutup wajah manisnya dengan selendang menerawang. Nuansa tradisional negeri padang pasir kental terasa tatkala pedagang sayur mayur berjualan diatas gerobak sederhana yang ditarik oleh seekor unta.
Daya tarik kehidupan tradisional masyarakat Rajasthan ini menjadi potret kehidupan masyarakat India di mata dunia. Tak salah jika kota Jaipur bersama dengan kota Agra dan Delhi dijuluki GoldenTriangle. Tiga kota dengan daya tarik wisata sarat sejarah yang mampu menyeret jutaan wisatawan setiap tahunnya.
Saya guncang tubuh si kecil yang tertidur lelap dalam pangkuan, sementara pak sopir membangunkan suami yang terlelap disebelahnya. Mobil berhenti di tempat parkir yang dipenuhi dengan restoran penjual aneka gorengan. Dihadapan kami yang dibelah oleh jalanan sebuah istana berdiri gagah diatas perbukitan, Amer Fort.